Cinta berkali-kali melihat jam dinding di kamarnya. Jarum jam sudah menunjukkan ke angka sembilan, tapi suaminya belum juga pulang. Matanya tak bisa terpejam, berkali-kali dia memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan.
Suara mobil memasuki garasi menyadarkannya. Dia langsung bangun dari tempat tidur, lalu menuju lantai bawah untuk menjemput suaminya.
“Kok baru pulang, Mas?” tanya Cinta sambil mengambil tas tangan dari tangan Bagyo.
“Ada yang harus diselesaikan di kantor, tidak bisa didelegasikan pada orang lain.”
Cinta mengikuti langkah Bagyo menuju kamar. Bisa dipastikan kalau suaminya akan mandi. Gyo memang sudah terbiasa mandi malam hari.
“Mas belum makan? Mau Cinta siapin buat makan malam?”
Bagyo menjawab dengan anggukan. Cinta tersenyum dan segera ke dapur untuk menghangatkan makanan. Tak lama, mereka sudah menikmati makan malam dalam diam. Bagyo langsung menuju ruang kerjanya setelah makan, sudah lelah dan dia ingin segera beristirahat.
“Mas, ada yang mau Cinta omongin,” kata Cinta sambil mengikuti suaminya.
“Katakan, ada apa?” kata Bagyo setelah mereka duduk di sofabed.
Cinta langsung menanyakan tentang perjanjian suaminya dengan papanya.
Bagyo tersenyum miring, lalu menarik napas panjang. “Begitulah orang kaya.”
“Demi apa Mas melakukan hal itu?” Air mata Cinta merebak.
“Demi lima ratus juta dan juga yang lainnya. Lagipula aku sudah tak punya apa-apa lagi. Saudara pun tak punya. Hidup ini harus realistis. Hanya empat tahun, setelah itu kita berpisah.”
“Apa selama ini Mas tidak pernah mencintai Cinta?”
Bagyo terdiam beberapa saat, lalu menggeleng pelan. Dia tidak ingin menyampuradukkan urusan perjanjian itu dengan hati. Tidak. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa tresno teko jalaran soko kulino itu benar. Rasa itu ada, tapi Bagyo langsung membunuhnya.
Cinta menarik napas panjang, meneguhkan hati. Percuma dia pertahankan rumah tangga dengan orang yang tak pernah mencintainya. Senyum mengembang dari bibirnya. Tak apa, mungkin dia bisa jujur pada Adit dan memperbaiki semuanya. Toh suaminya tak pernah menyentuh tubuhnya. Namun, apa Adit akan tetap menerimanya?
=============
Cinta melihat ke dalam kelas Laura dari jendela. Dilihatnya Laura menggunting kertas berwarna merah muda agar menjadi bentuk bunga dengan tertawa bahagia dengan guru yang asing, bukan Bu Andini yang dikenalkan Laura padanya. Cinta tersenyum, pilihan suaminya untuk menyekolahkan Laura di PAUD ini memang tidak salah.
“Aku tau, kamu pasti ke sini.” Sebuah suara mengagetkan Cinta.
Dia segera menoleh dan terpaku di tempatnya berdiri saat melihat Aditya yang tersenyum padanya. Aditya memakai kaos berwarna biru muda, sangat serasi dengan kulit putihnya, tak lupa kacamata hitam yang menutupi matanya.
“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Cinta sambil menoleh ke kiri dan kenan. Matanya langsung melebar tatkala melihat beberapa ibu memandang mereka berdua.
Memang Aditya selalu bisa menarik perhatian, apalagi wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Berbeda dengan Bagyo yang mempunyai kulit kecokelatan khas Indonesia dengan tubuh atletis. Kalau Adit itu tampan, Bagyo itu manis.
Cinta langsung menarik Aditya menuju taman di samping toilet di sebelah kelas Laura. Taman kecil dengan kolam ikan dengan beberapa bunga yang ditanam di sana. Dia tak ingin jika Laura melihat Adit lagi. Apalagi sampai bisa menarik perhatian para wali murid yang lain. Untung saja saat ini sekolah sepi, hanya ada beberapa wali murid.
“Dari mana kamu tau kalo aku bakal ke sini?” tanya Cinta langsung.
“Aku liat seragam Laura. Seragam khas sekolah ini. Jadi, aku yakin kalo kamu pasti akan ke sini buat jemput dia. Bukankah kemarin adalah jam pulang sekolah?” jawab Adit enteng.
“Untuk apa kamu ke sini?”
“Jelas buat kamu dan anak kita.”
“Anak kita? Laura anakku, bukan anakmu.” Cinta menundukkan wajah ke arah ikan-ikan yang berenang di kolam.
“Sebentar lagi dia empat tahun dan aku yakin kalo dia anakku.” Adit memegang tangan Cinta. “Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi saat itu sehingga kamu hilang dari hidupku?”
Cinta bergeming, matanya tetap tak lepas dari ikan yang berkejar-kejaran, tanpa masalah dan selalu babahagi
Adit menyentuh dagu Cinta, menghadapkan wajah Cinta ke arahnya. Pandangan mata mereka bertubrukan. Ada telaga di mata Cinta yang airnya siap jatuh ke pipi mulusnya.
“Aku perlu waktu,” ucap Cinta akhirnya.
“Hampir lima tahun, apa waktunya tidak cukup panjang?” tanya Adit dengan mata penuh pengharapan. “Apa kamu tau bahwa aku kembali untuk melamarmu? Mengikatmu agar menjadi ibu dari anak-anakku.”
Air mata Cinta menetes pelan, makin lama makin deras. Dadanya turun naik menahan gejolak. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dunia sudah hancur untuknya. Dia bukan lagi wanita yang baik untuk Adit.
Melihat wanita yang dicintainya menangis penuh luka, Adit tak tahan lagi. Tangan kekarnya langsung membawa Cinta dalam pelukan. Dia tahu, Cinta butuh pundak untuk bertahan. Masa bodoh dengan status Cinta yang sudah menjadi istri orang lain. Bagi Adit, Cinta masih kekasihnya karena tak ada kata putus di antara mereka.
“Menangislah, menangislah sampai hatimu merasa lega. Aku akan tetap di sini. Untukmu,” bisik Adit di telinga Cinta.
Cinta merasa hatinya yang kering kerontang mulai disiram air hujan. Entah berapa lama hatinya merasa kosong, tak pernah mendapatkan seseorang untuk berbagi. Dia terlalu malu untuk membagikan kisah hidupnya pada orang lain, termasuk suaminya sendiri. Namun, dengan Adit, semua terasa berbeda. Cinta pun memeluk Adit dengan kedua tangannya.
“A-aku takut, Dit. Aku takut,” suara Cinta bergetar, tapi masih bisa didengar jelas oleh Adit.
“Aku di sini, Cint. Aku di sini buat kamu. Aku bakal lindungi kamu dari apa pun. Bahkan kalo sampe suami kamu nyakitin kamu, aku tetap akan belain kamu.” Adit mencium puncak kepala Cinta.
Cinta makin mengeratkan pelukannya, “Saat itu, sebulan setelah kepergianmu. Mama membawaku ke hotel. Mama ingin menunjukkan bahwa Papa yang selama ini menyakiti dia. Mama sudah tak tahan lagi hidup dengan Papa.”
Adit mengusap kepala Cinta, memberi kekuatan.
“Kami melihat Papa dan wanita itu keluar dari hotel sambil berpelukan. Mereka tertawa bahagia. Lalu, kulihat Mama menangis pelan di dalam mobilnya. Aku turun dari mobil, menghampiri mereka berdua. Kujambak rambut wanita itu, kutampar dia, kutarik bajunya yang kekurangan bahan sampai sobek. Papa membela wanita itu, menahanku agar tidak melakukan perbuatan lebih. Aku kecewa, Dit. Papa yang kuagungkan ternyata jauh berbeda. Lalu, aku pergi, meninggalkan Papa dan wanita itu, bukan ke mobil Mama. Aku pergi begitu saja, meninggalkan mereka.” Cinta mulai bercerita.
Bayangan malam itu memenuhi kepalanya. Wajah saat mamanya menangis, wajah penuh luka yang dilihatnya. Juga wajah marah sang papa karena wanitanya dihajar oleh Cinta di depan hotel.
“Dasar wanita jalang!” Cinta mengumpat saat mengingat beberapa tahun lalu.
Adit masih diam sambil mengelus kepala Cinta. Dia membiarkan kekasihnya itu mengeluarkan segala kisah hidupnya. Awal dari semua yang memisahkan hubungannya dengan Cinta.
“Lalu, aku menelepon Nisa, mengajaknya ke diskotik. Kebetulan di sana ada teman yang ulang tahun. Nisa sudah memperingatkanku agar tidak mabuk, tapi aku terus saja minum. Kapan lagi bisa pesta alkohol secara gratis? Lagipula beban itu terlalu berat. Kamu pun tak ada untukku berbagi cerita. Meneleponmu pun tak mungkin, aku tak ingin kuliamu terganggu.”
Adit menarik napas panjang, mengingat saat hari perpisahannya dengan Cinta. Saat itu pun Cinta mabuk, sehingga Adit merasakan keperawanan kekasihnya. Apa Cinta juga melakukan hal itu dengan orang lain? Dada Adit bergemuruh.
“Dalam keadaan mabuk beberapa lelaki menghampiri kami. Wajah mereka berputar, tak jelas. Keesokan harinya saat sadar, kami sudah berada di hotel dalam keadaan buruk. Banyak tanda merah pada tubuh kami dan cairan sperma ada di mana-mana. Sebulan setelah kejadian itu, aku positif hamil. Saat itulah aku meneleponmu. Tak ingin kamu berpikiran macam-macam di sana. ” Cinta mengeratkan pelukannya pada tubuh Adit.
Adit menarik napas panjang. Dia mulai menarik garis besar atas cerita Cinta yang merasa malu dengan hidupnya. Hamil dan tak tahu siapa ayah biologis dari anaknya. Lalu pergi dari kehidupan Adit, menikah dengan orang lain, bahkan masih menjauh sampai saat ini.
Tangan Adit mengepal. Giginya gemelutuk menahan amarah. Andai dia tahu siapa saja lelaki yang meniduri Cinta, pasti mereka sudah babak belur di tangannya. Kekecewaan meraja di hatinya, andai dulu tak meninggalkan Cinta. Andai dia kuliah di Indonesia saja atau langsung menikahi Cinta, pasti semua ini tak akan terjadi.
“Lalu, suamimu?” tanya Adit pelan.
“Lelaki itu, ibunya aku tabrak saat menuju rumah sakit. Air ketubanku sudah keluar, bahkan darah pun sudah mengalir. Aku tak tau apa yang terjadi sampai akhirnya dia menjadi suamiku. Aku baru tau kemarin kalau lelaki itu melakukan perjanjian dengan Papa tentang pernikahan kami. Dia harus menjadi ayah yang baik untuk Laura dan tidak menyentuhku sama sekali saat status kami suami istri. Sebulan lagi kami akan bercerai, tepat saat ulang tahun Laura. Surat cerai pun sudah diurus oleh pengacara Papa.”
Adit makin mengeratkan pelukannya pada Cinta, “Tenanglah, Princes. Aku tetap di sini, untukmu. Kamu tak akan sendiri lagi.”
“Sebenarnya aku ingin menggugurkan anak itu, tapi Mama melarangnya. Anak itu tak salah, aku yang salah.”
“Tindakanmu sudah benar, Sayang. Anak itu suci, dia tak salah. Walau itu adalah akibat dari kesalahan orangtuanya.” Mata Adit memejam, tak percaya bahwa Laura adalah anak dari salah satu bajingan itu. Hati kecilnya mengatakan bahwa Laura adalah anaknya, walaupun mereka hanya berhubungan satu kali.
======
Andin menyandarkan tubuh pada tembok di kamar mandi kelasnya. Tak menyangka bahwa istri kekasihnya itu berpelukan dengan orang lain. Dilihatnya beberapa foto yang baru saja dia ambil dari ventilasi kamar mandi, tanpa sepengetahuan Adit dan Cinta. Dizoom beberapa kali dan memastikan kalau wajah dalam foto itu masih jelas terlihat. Ragu, apa foto itu nanti akan berguna untuknya.
Andin menarik napas panjang. Dia bisa mendengar percakapan mereka berdua di balik dinding. Seperti Bagyo dan dirinya, Cinta pun berhak bahagia dengan lelaki lain. Hanya tinggal menghitung hari untuk perpisahan mereka, Andin yakin bahwa semua akan baik-baik saja. Tak akan ada yang tersakiti.
“Semoga Cinta bisa bahagia dengan lelaki itu,” kata Andin pelan.
Ingatannya melayang pada pertemuan pertama dengan Bagyo. Andin meneguk salivanya, Bagyo lelaki yang tangguh. Dengan Andin pun tidak pernah melakukan hal itu, walau membayar mahal untuk tidur dengannya satu malam.
1 Comment. Leave new
Ceritanya.. sangat menarik ❤️