Bagyo memasuki rumah dengan tersenyum, di kedua tangannya ada dua kardus pizza untuk Cinta. Entah mengapa tadi saat melewati toko pizza, dia langsung teringat dengan Cinta. Istrinya itu selalu lahap jika memakan pizza, apalagi dengan banyak keju di atasnya. Jangankan satu, dua kardus pun bisa dihabiskannya sendiri. Dengan nafsu makan yang besar, Cinta mendapat karunia tubuh yang tetap langsing, tidak bisa gemuk.
“Assalamualaikum ….” Bagyo mengetuk pintu.
Tak berapa lama muncullah Sinti di ambang pintu. Mata Bagyo memicing, biasanya yang membukakan pintu adalah Cinta.
“Cinta di mana?” tanya Bagyo.
“Nyonya belum pulang dari tadi pagi, Tuan,” jawab Sinti sambil menutup pintu rumah setelah Bagyo masuk ke dalam.
Langkah Bagyo terhenti, “Belum pulang dari pagi? Laura sendiri di mana?”
“Non Laura sudah berangkat mengaji. Setengah jam lagi waktunya menjemput.”
Bagyo mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya. Kurang tiga minggu lagi dia akan meninggalkan rumah ini. Pindah ke rumah yang baru saja dibelinya bersama Andin tiga hari lalu, rumah yang langsung menjadi hak milik Andin. Tak perlu rumah besar, toh hanya mereka yang akan tinggal di sana. Ibu Andin dan Nata akan tinggal di Villa.
Rumah kecil bercat hijau muda dengan ruang tamu, dapur, kamar mandi, ruang tengah, dan dua kamar tidur. Ada sedikit halaman kosong di depan yang rencananya akan digunakan Andin untuk menanam tanaman toga, halaman belakang untuk menjemur pakaian.
Setelah selesai mandi dan ganti baju, Bagyo langsung menuju teras, menunggu kepulangan Cinta. Dia berpikir Cinta masih disibukkan dengan urusan kantor, apalagi sekarang Handoko mulai merekrut banyak karyawan baru untuk pabrik rokok yang baru dibangun.
Wangi bunga melati masuk ke dalam rongga hidungnya. Bagyo melangkah ke taman, mengambil beberapa bunga, lalu menghirup wanginya dengan pelan. Di halaman depan rumahnya yang berukuran 8×4 meter itu terdapat banyak bunga yang ditata dengan sedemikian rupa oleh tukang kebun. Bukan taman besar, tapi memanjakan mata siapa pun yang melihat.
Ingatannya melayang pada sosok Cinta. Setahun pertama pernikahan mereka, istrinya disibukkan dengan segala macam arisan. Urusan pabrik dan tetek bengek lainnya. Mungkin karena saat siuman, dia kaget dengan sosok Bagyo, lelaki desa yang kucel dan telah menjadi suaminya.
Laura sejak kecil sama sekali tak mendapat perhatian dari sang ibu, apalagi ASI. Mempunyai banyak uang dan pembantu, tetap tak bisa menggantikan kasih sayang ibu. Hal itu yang membuat Bagyo mencurahkan segala perhatian padanya.
Dengan gaji yang dia dapatkan dari perusahaan, Bagyo pun mulai memantaskan diri agar cocok bersanding dengan istrinya. Awalnya dia mempelajari banyak hal tentang tekstil, lalu bagaimana mengatur SOP karyawan. Untungnya ada Pak Afif, manajer pabrik yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu sangat amanah dan dapat dipercaya. Mau memberi masukan dan memberi tahu apa yang harus diketahui Bagyo sebagai owner.
Tahun kedua, Cinta tetap tidak berubah. Bagyo masih tak berani sekadar menyapa, tapi dia sudah dekat dengan Laura dan semua pembantu yang ada di sana. Tempat fitnes dan salon mulai menjadi tempat favoritnya tiap dua kali dalam seminggu.
Tahun ketiga sudah ada perubahan dari sikap Cinta, karena Bagyo sudah tidak sekucel dulu. Pantas untuk mendampinginya. Cinta pun mulai menyapa suaminya. Beberapa percakapan tak penting mulai hadir di antara mereka, Bagyo suka.
Ada hangat yang menjalar di hatinya saat bersama Cinta, tapi dia harus menghilangkan rasa itu. Demi perjanjian yang dia lakukan dengan Handoko. Menyakiti atau mencintai Cinta, dia tak mendapat apa-apa. Perceraian sudah pasti ada di depan mata.
Tahun keempat. Tiap malam jika tak bisa tidur, dia berlari. Sampai akhirnya melihat Andin untuk yang pertama kalinya. Wanita yang langsung masuk ke dalam hati dan pikirannya.
“Ayah, makan dulu, yuk! Laura lapar,” rengek Laura setelah pulang dari TPQ dan berganti baju.
Bagyo tersenyum, ingatannya buyar, lalu mengikuti langkah kaki kecil putrinya ke ruang makan. Laura makan sambil berceloteh tentang teman-temannya di sekolah PAUD dan TPQ, juga guru-guru yang sangat sayang padanya.
“Hai sayang, lagi makan, ya?”
Tiba-tiba suara Cinta mengagetkan Bagyo dari belakang tubuhnya. Segera dia menoleh, lalu mendapati Cinta yang tersenyum pada Laura.
“Bagaimana tadi di kantor?” tanya Bagyo.
“Baik. Di pabrik tekstil gimana?” tanya Cinta balik.
“Baik juga. Mau ikut makan?” ajak Bagyo.
“Enggak, tadi sudah makan di luar. Aku lelah. Cuma pingin tidur. Duluan, ya?” Cinta langsung melangkahkan kaki menuju kamarnya.
“Cinta, di atas nakas ada pizza keju,” kata Bagyo dengan tersenyum.
Cinta menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Bagyo, “Makasih, Mas.”
Bagyo mengangguk, tapi tak menemukan seulas senyum di bibir Cinta. Cinta pergi tanpa menoleh lagi. Senyum di wajah Bagyo pun memudar.
==============
Bagyo memasuki kamar, dilihatnya Cinta tertidur pulas tanpa mengganti pakaian yang tadi digunakannya dengan pakaian rumah dan tanpa selimut. Dia melihat ke arah Cinta dengan pandangan kosong, hanya tinggal tiga minggu, lalu tak akan dilihatnya lagi sosok itu.
Dengan langkah pelan, Bagyo mendekati ranjang. Mengambil selimut, menyelimuti tubuh Cinta sampai dada, “Maafkan aku, Cint. Selama ini tidak pernah menjadi suami yang baik untukmu.”
Drrrt drrrt.
Suara getaran handphone di atas nakas mengagetkan Bagyo. Heran, sejak kapan Cinta hanya memberi getar tanpa suara? Tanpa curiga, Bagyo mengambil handphone itu. Ada sebuah WhatsApp yang masuk, dari Adit.
‘Ya udah kamu tidur. Jangan terlalu capek, aku hari ini juga banyak kerjaan. Mungkin kita bisa ketemu Sabtu depan. See you.’
Siapa Adit? Selama ini bahkan istrinya itu selalu membatasi pergaulan dengan lelaki. Siapa yang tak tahu bahwa Cinta sudah bersuami? Bahkan mereka sangat terlihat mesrah di mana pun berada. Mana ada lelaki yang berani mendekati istrinya? Batin Bagyo bertanya.
Segera dia mengarahkan layar chat WhatsApp ke atas. Membaca chat mereka sebelumnya. Chat biasa, hanya mengingatkan soal makan dan tanya pekerjaan. Sampai sebuah chat paling atas menghentikan jarinya.
‘Tenanglah Princes, aku akan tetap ada di sini buat kamu dan Laura. Menjagamu dengan nyawaku.’ Diikuti dengan emoticon love.
Tiba-tiba saja ada yang menjalar di hatinya. Tangan mengepal dengan keras, keringat dingin pun mulai keluar dari dahinya. Jantungnya berdegub lebih cepat dari biasanya.
“Berani sekali dia mengirim gambar cinta ke istri orang!” geramnya sambil menahan kepala yang tiba-tiba pusing dengan tangan kanan.
Dengan cepat, dia langsung mengambil handphonenya, menyalin nomor Adit dan menyimpannya di sana. Satu buah kontak dengan nama ‘Gendruwo’ mulai menambah daftar nama di handphonenya. Dilihatnya profil lelaki itu, dipandangi fotonya, tampan, sangat cocok dengan Cinta.
“Kamu tak berhak marah pada lelaki lain. Bukankah kamu tak pernah mencintai istrimu? Lantas untuk apa kamu marah?” Sebuah suara di hati kecilnya mulai menyadarkan.
“Apa benar aku marah? Ini bukan marah, hanya ….” Bagyo memijat keningnya, tak tahu harus menjawab apa.
Dia mulai cemburu. Ini bukan yang dia impikan sejak dulu, tapi Cinta pun berhak bahagia dengan lelaki pilihannya. Sudah cukup luka yang selalu dia torehkan pada hati istrinya. Mungkin ini adalah jawaban panjang dari penantiannya selama ini.
Diletakkannya handphone milik Cinta ke atas nakas lagi. Lalu dengan langkah kaki yang lebar, meninggalkan kamar, menuju ruang kerjanya untuk ganti baju.
Sebuah kaos oblong, celana training panjang, dan sepatu lari merk Nike sudah dipakainya. Tak ada keinginan yang lain, hanya berlari, walau matahari sudah digantikan dengan kehadiran bulan dan bintang. Dia ingin berlari, berteriak di tengah tanah lapang untuk membunuh rasa yang mulai muncul di hatinya.
Keringat mulai membanjir. Entah berapa kilo sudah dia berlari. Napasnya mulai tak beraturan, dadanya naik turun. Setelah menemukan tanah lapang yang akan dijadikan perumahan, dia berteriak kencang. Sekencang yang dia mampu, sampai air matanya pun ikut menetes.
“Tuhan, aku ingin Kau pilihkan jodoh yang terbaik untuk istriku. Hanya itu.” Bagyo menarik napas panjang, entah yang ke berapa.
“Ndin, aku kangen.” Tak berapa lama, sebuah chat dia kirimkan via WhatsApp ke kontak Andini.
==============
“Pagi, Mas. Pulas tidurnya?” sapa Cinta di ruang makan.
“Hm, lumayan,” jawab Bagyo pelan. “Pizzanya enak?”
Cinta menutup mulutnya dengan tangan kanan, “Ya ampun, Cinta sampai lupa kalo Mas kemarin bawain pizza.”
Bagyo diam, langsung mengambil nasi dan beberapa lauk sendiri, tanpa dilayani oleh Cinta. Dengan cepat dihabiskannya nasi dan lauk di piring, mengusap bibir dengan tisu, lalu beranjak dari ruang makan, berjalan menuju garasi. Tak berapa lama, terdengar mobil Bagyo meninggalkan rumah.
Cinta tertegun. Sikap Bagyo kali ini jauh berbeda dengan biasanya. Namun, Cinta tak peduli. Buat apa mempedulikan lelaki yang selama ini tak pernah mencintainya? Sebuah pekerjaan yang sia-sia. Seperti merpati yang ingin dicintai rajawali. Jelas itu tidak mungkin.
Dipandanginya makanan di atas meja. Semuanya menu favorit Bagyo, tapi pagi ini terasa hambar. Apalagi Bagyo sama sekali tidak berpamitan padanya saat berangkat kerja. Cinta menarik napas panjang, dia akan bersiap menuju tempat kerjanya pula.
Di atas nakas di dalam kamar, Cinta melihat dua kardus pizza ukuran sedang. Dibukanya kardus itu, ada pizza yang dengan banyak sekali topping keju, membuat perutnya merasa lapar. Tumben sekali suaminya membawakan makanan favoritnya itu.
Pizzanya sudah dingin, tapi Cinta tetap mengambil sepotong, menggigitnya pelan. Namun, selera makannya telah menguap entah ke mana, padahal sedari pagi dia belum makan. Setetes air mata jatuh ke pipi mulusnya. Terlihat enak, tapi hanya kelihatannya. Orang tak pernah tahu bagaimana rasa yang sesungguhnya, seperti bagaimana di dalam rumah tangganya.
===========