Cinta memperhatikan kerudung biru muda yang diberikan Nisa padanya. Sesekali dilihat wajahnya di cermin, memastikan jika tak akan ada yang berubah dengan wajahnya jika kerudung itu nanti menutupi rambut panjangnya. Ragu, antara iya dan tidak.
Cinta berjalan ke arah lemari, melihat beberapa baju panjang yang dirasa cocok dengan kerudung barunya. Banyak bajunya yang berwarna biru, tapi tidak ada yang panjang. Kebanyakan adalah baju seperti kurang bahan, padahal itu adalah baju mahal dari butik terkenal.
“Mungkin tidak hari ini,” desah Cinta kecewa sambil menutup kembali lemari bajunya.
Dia merebahkan badan di atas kasur, pandangannya menerawang ke langit-langit kamar. Seandainya sang mama masih hidup, pasti akan memberikan saran ini itu untuk baju yang akan dipakainya. Mamanya memang paling cerewet kalau soal baju, apalagi jika mendapati Cinta memakai baju kurang bahan. Sayangnya Cinta tak pernah mempedulikan semua ucapan sang mama.
“Ya ampun, Cinta! Sekali-kali dengerin Mama. Jangan sampai para lelaki di luar sana memandangi seperti serigala kelaparan!” Ucapan sang mama terngiang di telinganya.
Cinta tersenyum jika mengingat kecerewetan mamanya, lalu kelopak matanya mengerjap cepat. Segera diambilnya kunci mobil di atas nakas. Tujuannya hanya satu, ke rumah orang tuanya, berharap baju gamis lama milik sang mama masih disimpan oleh papanya.
========
“Kamu cantik, Cint. Sama seperti Mama,” ucap Handoko dengan mata berkaca-kaca saat dilihatnya Cinta memakai baju gamis milik mamanya.
Wajah oval dengan hidung bangir memang diwarisi Cinta dari sang mama, tapi rambut hitam yang lurus dan kulit putihnya diwarisi dari papanya.
“Papa selalu membuka lemari dan melihat baju-baju itu untuk mengobati rindu pada Mama.” Handoko menarik napas panjang.
“Papa yang terbaik. Mama pasti sudah bahagia di sana,” ucap Cinta sambil memeluk papanya.
“Kenapa kamu tiba-tiba saja ingin memakai baju Mama? Bukankah kita bisa mampir ke butik langganan Mama dulu?”
“Cinta tak mau menghamburkan uang. Toh baju-baju milik Mama masih sangat layak untuk dipakai. Bahkan beberapa gamis hanya dipakai beberapa kali saat arisan atau acara keluarga.”
“Sifatmu tak jauh beda dengan Mama.” Handoko tersenyum melihat putri semata wayangnya.
“Apa Mas Gyo akan tertarik padaku?” tanya Cinta tiba-tiba.
“Siapa pun akan tertarik pada putri cantik Papa. Sungguh,” kata Handoko, memperhatikan penampilan Cinta yang sudah jauh berbeda dari saat pertama datang tadi.
Cinta tersenyum, lalu kembali ke kamar mamanya, memilih dan memilah gamis yang sesuai dengan seleranya. Ternyata pilihan sang mama tidak pernah ketinggalan zaman. Gamis sederhana untuk sehari-hari, gamis mewah dengan brukat, ada juga gamis dengan payet yang sangat elegan.
Dia menarik napas puas saat melihat baju-baju pilihannya sudah ada di dalam dua koper besar. Masih tersisa satu koper yang rencananya akan diberikan pada Bi Sumi, pasti Bi Sumi akan menyukai pilihannya. Cinta juga menyisakan beberapa gamis kesayangan mamanya tetap di dalam lemari, untuk papanya jika sewaktu-waktu rindu dengan almarhumah mama.
===============
Bagyo tertegun saat membuka pintu kamar tidur. Seorang wanita dengan baju gamis berwarna biru sedang menata lemari baju, membelakanginya. Dilihatnya baju-baju yang lain berserakan di atas tempat tidur.
“Mas sudah pulang?” tanya Cinta sambil tersenyum saat menoleh ke arah pintu.
“Hm, iya.” Bagyo tak tahu harus menjawab apa. Penampilan Cinta kali ini berbeda, cantik.
“Cinta udah masak tadi, tinggal angetin aja buat makan siang. Mas pasti sudah lapar.” Cinta menutup lemari, lalu bergegas keluar kamar menuju dapur.
Bagyo menarik napas panjang, lalu segera membuka baju dan sepatunya, mengganti dengan sandal dan pakaian rumah. Sebenarnya tidak ada nafsu makan sama sekali, dia masih kenyang karena sudah makan siang dengan Andin. Namun, senyum Cinta tadi membuatnya tak bisa menolak.
Mata Bagyo melirik ke arah tumpukan baju di atas tempat tidur, baju-baju Cinta yang sering dipakainya untuk ke kantor ataupun pergi keluar rumah. Bahkan ada salah satu baju yang paling disukai Cinta, dress berwarna merah menyala yang memperlihatkan kulit punggungnya. Bisa dibilang bahwa baju-baju itu sangat cocok untuk tubuh Cinta, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang aduhai. Apalagi jika rambutnya dicepol dengan menyisakan beberapa helai rambut, membuat siapa pun tak akan melepas pandangan dari istrinya itu.
Penasaran, lelaki itu melangkahkan kaki ke arah lemari yang baru saja ditutup oleh Cinta. Pandangan di dalam lemari membuatnya tertegun, terlihat banyak sekali gamis panjang yang diatur sedemikian rupa, baju tidur, serta beberapa kaos pendek, menggantikan baju-baju kesayangan Cinta yang ada di atas kasur. Ada senyum tipis di bibir Bagyo melihat hal itu.
Cinta menyiapkan makan siang, aroma ikan asin menguar dari meja makan. Bagyo segera turun dari kamar karena nafsu makannya bangkit kembali saat mencium aroma makanan favoritnya itu dari dalam kamar.
“Kata Pak Parto, kalian sering mampir ke Warung Tegal untuk makan siang. Kebetulan tadi Bi Sumi belanja, sekalian Cinta pesan ampok dan ikan asin.” Cinta menjelaskan sambil mengisi piring Bagyo dengan nasi ampok, ikan asin, sambal, tumis pepaya muda, urap, mendol, serta trancam.
“Siapa yang masak?” tanya Bagyo sambil menerima piring dari Cinta.
“Bi Sumi. Saya masih belum bisa masak, tapi pasti akan belajar masak,” kata Cinta sambil menggigit bibir, takut akan mendapat ucapan sadis lagi dari suaminya.
Tanpa banyak bicara, Bagyo langsung makan, menghabiskan nasi yang ada di piringnya.
“Tambah lagi dong!”
Cinta tertegun, tapi langsung mengambil piring suaminya, lalu mengisi lagi dengan nasi ampok dengan porsi lebih sedikit. Tak biasanya Bagyo antusias memakan masakan rumah, tapi itu sebuah awal yang bagus.
“Lelaki itu, kalau lidahnya dimanjakan, perutnya kenyang, pasti betah di rumah,” kata Bi Sumi saat mereka memasak tadi.
“Cuma makan?” Cinta bertanya, tak mengerti.
“Tidak hanya perut, tapi bawahnya perut juga, Nyonya.”
Cinta mengangguk mengerti. Ah kenapa tidak dari dulu saja dia bertanya pada Bi Sumi yang lebih berpengalaman? Dari Bi Sumi-lah Cinta bisa tahu apa makanan kesukaan suaminya. Memang sederhana, tapi selera tiap orang pasti berbeda.
“Kamu gak makan?” tanya Bagyo sambil melihat Cinta.
“Sudah makan tadi,” ucap Cinta pelan.
Bagyo mengangguk, lalu melanjutkan makan siangnya dengan lahap. Beberapa bulir keringat mulai membasahi dahinya, rupanya dia sangat menikmati makan siang yang disajikan oleh Cinta.
==========
“Mau ke mana?” tanya Bagyo saat melihat Cinta turun dari lantai atas.
Penampilan Cinta kali ini berbeda. Gamis merah muda membalut tubuhnya, kerudung dengan warna senada menutupi sebagian dadanya. Make up yang biasanya tebal, sekarang makin berkurang. Hanya bedak tipis dengan lipstik warna pink keunguan.
“Mau ikut Bi Sumi ke acara pengajian,” jawab Cinta sambil menuruni tangga, terlihat anggun.
Bagyo melirik penampilan istrinya, lalu matanya kembali pada koran yang ada di depannya.
Pak Parto sudah menunggu di luar rumah. Bi Sumi pun memberi kode agar Cinta berpamitan pada Bagyo, memberi contoh agar tak lupa mencium punggung tangan suaminya itu. Hal yang tak pernah Cinta lakukan selama menikah.
“Em, Mas?”
“Ya?” Bagyo menjawab malas sambil melipat korannya.
“Aku berangkat dulu.” Cinta mengangsurkan tangan kanannya pada Bagyo.
“Sama Bi Sumi saja?” tanya Bagyo basa-basi.
“Diantar Pak Parto.”
Bagyo tertegun sejenak, sampai akhirnya memberikan tangan kanannya pada Cinta. Dengan segera, Cinta meraih tangan itu, lalu mencium punggung tangan suaminya. Cukup lama, tak ada yang ingin menarik tangan masing-masing, sampai akhirnya Cinta melepasnya.
“Assalamualaikum.”
Cinta pergi tanpa kata-kata lagi, sementara Bagyo mengusap punggung tangannya, dilihatnya lipstik milik Cinta menempel di sana. Ada debar aneh yang mulai merayapi hatinya. Namun, dia segera menepis dengan cepat.
============
Menjelang Maghrib, Cinta dan Bi Sumi baru datang. Laura sudah mandi dan memakai baju panjang warna cokelat muda, dimandikan oleh Sinti, baby sitternya yang baru saja bekerja di kediaman Cinta.
“Bunda cantik deh.” Laura langsung menyambut kedatangan Cinta.
“Laura juga cantik kok,” ucap Cinta sambil tersenyum, lalu mengangkat Laura dalam gendongannya. “Laura sudah makan?”
“Sudah, tadi disuapin Mbak Sinti. Ayah yang belum makan, katanya nunggu Bunda pulang dari pengajian.”
Wajah Cinta bersemu merah, tak menyangka jika suaminya akan menunggu untuk makan malam, “Ayah ke mana?”
“Tadi sepertinya ada di ruang kerja,” jawab Laura sambil menunjuk sebuah pintu di lantai dua. Ruang kerja milik Bagyo yang sama sekali tidak pernah Cinta kunjungi.
Bi Sumi langsung ke dapur untuk menyiapkan makan malam, sementara Cinta masih asik bercengkerama dengan putrinya. Sampai akhirnya Laura minta Sinti untuk menemaninya melihat televisi.
Cinta melangkahkan kakinya ke lantai dua, menuju ruang kerja suaminya. Diketuknya pintu beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Dia pun langsung masuk ke dalam ruangan tersebut, ruangan yang selalu digunakan Bagyo untuk tidur saat malam hari, tak pernah tidur satu ranjang dengan Cinta.
Sebuah ruangan dengan ukuran 3×5, rak buku berwarna cokelat memenuhi dinding di belakang meja kerja. Di depan meja kerja, samping kiri, terdapat sofabed panjang berwarna cokelat tua dengan meja kecil. Sofa itu biasa dijadikan untuk tidur juga. Sementara di samping kanan terdapat lemari kecil yang berisi pajangan dan dokumen penting. Juga lemari besar untuk menyimpan bantal, selimut, serta barang yang lain.
Dilihatnya Bagyo tertidur di atas sofa dengan buku tebal yang menutupi dadanya. Sepertinya suaminya itu tertidur saat membaca buku. Cinta segera menuju lemari yang ada di sana, mengambil selimut, lalu menyelimuti tubuh Bagyo.
“Hm, makasih, Ndin,” gumam Bagyo sambil menarik selimutnya lebih rapat, menutupi sampai leher. Lalu melanjutkan tidurnya.
Cinta terkejut, ada nyeri di dada saat sebuah nama diucapkan oleh suaminya tanpa sadar. Ndin, sebuah nama yang tak pernah dia tahu dari mana datangnya.