“Tunggu sampai asistenku ke sini bawa tas seperti punyamu.” Aku berjalan bak angsa meninggalkan mereka, pergi ke bagian pendaftaran.
“Mari silakan ikut saya, Kak.” Seorang terapis langsung memintaku mengikutinya setelah membaca formulir yang kuberikan.
“Hei! Masalah kita belum selesai!” teriak Mbak Zoya kencang. Aku tak peduli mau dia teriak sampai tenggorokannya kering, tetap berjalan anggun.
“Terus? Maunya Mbak Zoya gimana? Kan aku udah mau ganti tasnya?” ucapku sambil menghentikan langkah. Wanita itu benar-benar membuatku gemas.
“Aku gak mau kalo gantinya tas kw!” Mama ikut-ikutanikut-ikutan.
“Lho? Terus maunya dapat yang ori gitu? Mbak Sonia mau yang ori?” tanyaku pada Mama, lalu menoleh ke arah wanita yang dari tadi hanya diam saja dari tadi. Jelas dia tahu kalau tasnya juga bukan tas ori.
“Udah, Mbak, Ma. Noda gini aja lho. Yuk mulai perawatan aja. Mbak Zoya pilih yang mana? Mama juga pilih yang mana? Nanti saya yang bayar,” ucap Sonia menenangkan mereka.
“Kamu memang yang terbaik. Gak percuma deh Mama pilih kamu buat jadi calon istrinya Hari,” ucap Mama mulai memuji.
“Mbak Zoya dan Mama mau yang lebih mahal dari wanita jalang itu!” ucap Mbak Zoya yang membuatku menyunggingkan senyum sinis.
Seperti aku? Yakin mau perawatan seperti aku? Tak hanya facial, aku juga infus buat mutihin kulit dan hifu hampir seluruh tubuh karena telah lama lemakku menumpuk. Belum lagi dengan pijat dan lulur seluruh badan yang pastinya perlu waktu hampir seharian.
“Oke, oke. Kalian jangan emosi, ya? Saya ke tempat pendaftaran dulu untuk tanya paket yang diambil sama dia dan isi formulir.” Terdengar ucapan Sonia menenangkan, sok banget dia. Memang punya duit berapa?
Aku tersenyum miring, lalu mulai melangkah menaiki tangga. Sampai tak kudengar lagi suara mereka di bawah. Jangan sampai ketemu mereka lagi yang membuat moodku benar-benar buruk.
Setelah melepas baju, menggantinya dengan kemben, hapeku bunyi. Ada telepon dari Galang.
“Ada apa?” tanyaku malas.
“Mereka sudah keluar.”
“Keluar? Cepet bener.” Senyum kemenangan ada di bibirku.
“Tadi saya dengar mereka pindah ke klinik kecantikan lain.”
“Oh, biarin aja.” Jelas saja mereka langsung keluar saat melihat nominal biaya perawatan kecantikanku. Lebih dari setengah dari jumlah gaji Mas Hari sebulan.
“Tasnya bagaimana? Ini sudah ada yang antar.”
“Taruh aja di kursi belakang. Barangkali kita bakal ketemu Sonia lagi.” Malas rasanya menyebut nama wanita yang akan menjadi istri sah dari mantan suamiku itu.
Sebenarnya aku bisa saja tak peduli pada keluarga nenek sihir itu. Namun, mereka telah menyakitiku, menjadikan diriku pembantu, bukan menantu. Belum lagi Mas Hari yang main tangan dan menceraikanku secara tiba-tiba. Lantas aku akan memaafkan merek? Tidak sudi. Orang-orang itu harus membayarnya. Enak saja bahagia di atas penderitaanku.
Terbayang bagaimana Mas Hari menolongku dari jalanan, sikap manisnya bisa meluluhkanku yang egois ini. Walau aku harus menjual perhiasan dan hape untuk biaya pernikahan kami yang di bawah tangan. Aku lebih menyukai sikap manis Mas Hari daripada harus menikah dengan lelaki yang tak pernah kukenal.
Kubuka file profil keluarga Mas Hari, membacanya pelan sambil memikirkan apa yang akan kuperbuat selanjutnya. Tiba-tiba mataku menangkap nama perusahaan tempat Mas Hari kerja. Kemarin karena terlalu semangat, hanya kulihat gaji lelaki itu.
“Sepertinya perusahaan ini tak asing,” kataku pelan sambil mengingat-ingat nama perusahaan itu. “Oh iya, ini kan nama perusahaan yang proposal kerjasamanya aku baca di meja kerjanya Mommi.”
Kali ini Tuhan berpihak padaku.
======
“Halo?” Sebuah panggilan muncul di hapeku dari nomor tak dikenal.
“Halo Mbak Nisa,” ucap suara di seberang yang aku kenal. Pak Asep.
“Pak Asep? Ada apa, Pak?”
“Mau laporan, Mbak. Barusan ada calon istrinya Mas Hari yang datang.”
“Sonia? Atau ada calon istri yang baru?”
“Sepertinya calon istri yang baru, tadi mereka manggil namanya Mbak Dewi.”
“Ok, Pak. Makasih infonya ya. Nanti saya cek langsung ke CCTV ya.”
Heran deh. Kok bisanya mantan suamiku itu punya banyak calon istri? Beberapa hari lalu namanya Sonia, sekarang namanya Dewi. Apa dia tak serius memilih calon istri? Atau Sonia yang kemarin itu sudah kabur menghadapi keluarga matre seperti mereka?
Pak Asep selalu laporan jika ada orang baru yang masuk ke rumah itu, khususnya calon istri Mas Hari. Kalau orang lain yang berhubungan dengan Mbak Zoya atau Mama, aku tak terlalu peduli. Hanya melihat sekilas, lalu membiarkan mereka bahagia, sesaat. Kenapa sesaat? Karena selanjutnya akan kubuat mereka menangis. Hahaha.
Kubuka hape dengan cepat, rasanya lama sekali tak melihat CCTV yang terpasang di rumah itu. Padahal baru kemarin. Kepo sih siapa calon istrinya Mas Hari ini.
“Wah bagusnya oleh-oleh ini. Unik,” kata Mama sambil memperlihatkan kalung yang terbuat dari batu berwarna-warni.
“Saya ke kamar mandi dulu, ya, Ma. Letaknya di mana?” tanya wanita yang kukira adalah Dewi.
“Di ujung dekat dapur, Sayang,” jawab Mama sambil tersenyum.
Wanita itu berdiri dari duduknya, lalu pergi ke arah yang diberitahukan oleh Mama.
“Mama ini seleranya rendah deh. Batu-batu gini mah murah, harganya cuma beberapa ratus ribu,” kata Mbak Zoya sambil meletakkan kalung miliknya.
“Jangan begitu. Nanti kita kelihatan matre. Ingat bagaimana sekarang Sonia sudah tak pernah ke sini? Kita terlalu banyak minta sama dia, padahal dia kan belum menikah dengan Hari.” Mama memberi nasihat pada putrinya.
“Sudah sewajarnya kan dia kasih banyak barang buat kita?” kata Mbak Zoya sambil mengerucutkan bibirnya.
“Nanti aja kalo Dewi udah nikah. Kamu yang sabar. Nanti kita bisa dapat banyak. Dewi ini bukan wanita sembarangan, dia itu anak bungsu dari perusahaan besar. Jangan sampai dia kabur padahal mereka belum bertunangan.”
“Oke-oke, kali ini aku ikut apa kata Mama,” kata Mbak Zoya sambil memakai kalung yang tadi diletakkan di atas meja.
Wanita yang dipanggil dengan nama Dewi itu sudah kembali ke ruang tamu, lalu keluarga nenek sihir itu memuji-muji setinggi langit.
“Dewi kok cantik banget, ya? Niru siapa?” Mama mulai melancarkan rayuannya.
“Ah bisa aja. Kata Papa sih niru kecantikannya Mama.”
“Wah, gak sabar pingin ketemu sama mama kamu nanti. Oh iya, kita jadi makan malam di restoran hotel, kan?” tanya Mbak Zoya.
“Iya dong, Mbak. Nanti sekalian kita nginap di hotelnya.”
“Eh, hotel apa?”
“Hotel Gold. Nanti satu orang dapat satu kamar. Tenang aja, hotel itu milik Papa kok. Oh iya, Mas Hari ke mana? Kok belum pulang, ya?”
Perutku langsung mual dan pingin muntah melihat mereka berbincang seperti itu. Selalu, harta dan harta. Hal yang awalnya tak kutahu saat membiarkan keluarga itu menjual perhiasan dan seluruh benda berharga yang kumiliki. Saat seluruh simpananku habis, pembantu mulai dipecat, lalu aku menggantikannya. Dasar nenek sihir.
Kututup tampilan pada layar ponsel, lalu menghubungi seseorang. “Aku mau profil lengkapnya Dewi, putri dari pemilik Hotel Gold.”
“Siap!”
=====
Part Sebelumnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-4/
Part Selanjutnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-6/