“Ayah ke mana saja tadi?” tanya Laura saat Bagyo membuka pintu rumah.
“Kerja di kantor dong!” jawab Bagyo sambil tersenyum.
“Aku tadi ke kantor sama Bunda, tapi Ayah gak ada. Trus Bunda nungguin di kantor, aku pulang deh.” Wajah Laura cemberut.
“Ada apa sih kok pada ke kantor?” tanya Bagyo pada Laura.
“Ayah gimana sih? Lupa apa pura-pura lupa? Hari ini kan Bunda ulang tahun. Kami mau ajak Ayah makan di luar.”
“Ooh. Ya udah Ayah mandi dan ganti baju dulu, nanti kita makan di luar.” Bagyo mencium kening Laura, lalu bergegas naik ke kamar atas.
Sementara Cinta masih ada di bawah, terdengar sedang bercakap-cakap dengan Laura.
========:::=========
“Ayah gak ngasih kado ke Bunda?” tanya Laura dengan mulut penuh saat mereka mulai makan.
“Hm …. Cinta mau kado apa?” tanyaku pada Cinta.
“Terserah Mas saja.” Cinta tetap sibuk menyuapi Laura.
“Laura sudah besar kok minta suapi Bunda? Kan udah bisa makan sendiri?” tanya Bagyo pada Laura.
“Oh iya, Yah. Maaf ya Bunda? Laura mau makan sendiri.” Laura langsung mengambil sendok dari tangan Cinta.
Mereka mulai makan sendiri-sendiri, sesekali terdengar celoteh Laura tentang makanan dan sekolahnya.
“Tadi Bu Mel gak masuk. Gak seru ah kalo gak ada. Bu Mel itu seperti temen Laura.”
“Gurunya Laura?” tanya Cinta.
“Makanya sekolah Laura itu diperhatikan, jangan sibuk dengan arisan dan kegiatan gak jelas,” kata Bagyo tanpa melihat ke arah Cinta.
“Iya, Bunda. Gurunya Laura yang baiiiik banget. Laura pingin punya Bunda seperti Bu Mel.”
Celoteh Laura yang tiba-tiba membuat Bagyo tersedak dan memandang putrinya. Tidak hanya Bagyo, Cinta pun memandang Laura dengan pandangan yang tidak bisa diucapkan.
“Sepertinya kamu harus berguru juga pada Bu Mel agar bisa menjadi Bunda idaman Laura,” kata Bagyo pada Cinta sambil membersihkan mulut dengan tisu.
Ucapan Bagyo cukup telak. Cinta tak bersuara sama sekali saat mereka makan, bahkan sampai pulang.
=========::::==========
“Halo Nisa, kamu sibuk?” tanya Cinta pada sosok wanita di seberang telepon.
“Salam dulu dong! Ini siapa?” tanya Nisa.
Cinta menarik napas panjang, suara Cinta sudah dilupakan oleh Nisa. Ah, mungkin saja. Sudah hampir 4 tahun sejak kejadian itu, Cinta tak pernah bertemu dengan sahabatnya itu. Jangankan bertemu, menyapa pun tidak.
“Aku … Cinta,”
“Afwan. Maaf ya, Cinta? Lama sekali gak ada kabar dari kamu, hapeku baru ganti.” Nisa menjawab dengan santun.
“Gimana keadaanmu sekarang? Aku pingin curhat,” sesak hati Cinta menahan perih itu sendiri. Tak ada teman yang bisa diajak untuk berbagi. Berbagi yang artinya membuka luka lama, luka yang berusaha dikuburkannya dalam-dalam.
“Sudah lama, ya? Aku tunggu di toko aja, gimana? Nanti langsung ke ruang atas.”
Cinta mencatat alamat baru yang diberikan Nisa. Bukan alamat asing dan Cinta langsung tertegun begitu menyadari bahwa itu adalah toko roti yang baru buka cabang beberapa bulan lalu.
Cinta segera beranjak dari atas tempat tidur dan langsung mengambil kunci mobil. Laura dan Gyo sudah berangkat dari tadi pagi, masih ada beberapa jam sebelum mereka pulang. Pastinya Cinta sudah harus ada di rumah untuk menemani Laura makan siang.
Mobil melaju perlahan meninggalkan garasi menuju Nisa Bakery. Sepertinya Nisa telah menjadi orang sukses sekarang, dia sudah mempunyai toko roti dengan banyak cabang. Bodoh Cinta, baru mengetahui kalau Nisa adalah pemilik toko tersebut.
“Mbak, Nisa ada?” tanyaku pada pegawai di kasir saat sudah berada di dalam toko.
“Silakan ke atas, Bunda sudah menunggu dari tadi,” jawab karyawati tersebut sambil tersenyum.
Cinta bergegas menaiki tangga dan menemukan Nisa sedang membaca buku resep. Nisa tak berubah, selalu suka membaca dan mencoba hal-hal baru.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikum salam. Subhanalllah Cinta. Akhirnya bisa ketemu kamu lagi,” Nisa berdiri dari duduknya dan langsung memeluk Cinta.
“Kamu berubah, Nis. Sangat jauh berbeda,” kata Cinta saat melihat penampilan baru sahabatnya itu.
Tubuhnya yang aduhai dan kulit putih mulus itu sudah tertutup dengan gamis panjang. Tak hanya itu, kerudung lebar yang menjuntai sampai dada juga menutupi rambutnya. Hal yang dulu sering mereka tertawakan saat membahas baju seperti itu.
“Alhamdulilah aku terus memperbaiki diri. Kamu gimana kabarnya? Dengar-dengar sudah menikah dan punya anak, ya?” Senyum terpancar dari bibir ayunya.
“Hm … begitulah,” Cinta menjawab pertanyaan itu dengan malas. Sama sekali tak minat membicarakan Laura.
“Ada angin apa?” Nisa bertanya singkat dan to the point. Lalu berlalu meninggalkan Cinta, mengambil air minum yang tersedia di atas meja.
“Setelah kejadian itu, sebenarnya aku hamil,” kata Cinta pelan sambil mengambil minuman kemasan yang disodorkan Nisa.
“Allah ….” Nisa kaget dan terhuyung.
“Bodohnya aku, tidak membunuh dia saat di dalam perut.” Cinta menggerutu.
“Astaghfirullah hal adzim.” Nisa mengelus dadanya dengan cepat.
“Miris ya? Lebih baik hidupmu dari pada hidupku.” Cinta meneguk minuman yang diberikan oleh Cinta dengan cepat.
“Untungnya dia masih hidup. Kau akan menyesal bertahun-tahun jika sampai membunuhnya.” Wajah Nisa berubah sendu.
“Apa maksudmu?” tanya Cinta terhenyak dengan pengakuan Nisa.
“Aku juga hamil. Apa kau lupa bahwa waktu subur kita itu sama? Saat mengetahui kehamilanku, orang tuaku langsung menyuruh untuk menggugurkannya ke dukun. Sayangnya, saat pengguguran itu terjadi, terlalu banyak darah yang keluar. Aku langsung dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan darah,” pandangan Nisa menerawang.
Air mata mulai jatuh membasahi pipi Nisa yang putih, hidungnya pun memerah. Dia mencoba mengingat masa lalu yang mungkin sengaja dikuburkannya, sama seperti Cinta. Cinta langsung memeluk Nisa, tak tahu jika sahabatnya ini mengalami hal yang hampir sama dengannya. Kenapa Cinta malah menjauh darinya setelah kejadian itu? Sepertinya tak pantas Cinta duduk di sampingnya karena Cinta lah yang memulai semuanya. Cinta yang mengajaknya ke pesta itu.
“Maafkan aku, aku tak pernah menyangka bahwa hal itu akan berdampak buruk pada kita,” sesal Cinta pada Nisa. “Ya, sebenarnya saat itu aku tak tahu harus marah pada siapa. Karena itu aku menghilang selama ini. Tapi apa boleh dikata, semua sudah terlambat. Ibaratnya, nasi sudah menjadi bubur.”
“Rasa sesalku karena menggugurkan kandungan itulah yang membuatku mendirikan panti asuhan untuk membantu anak-anak lain.” Nisa menarik napas panjang.
“Kau punya panti asuhan?” Cinta kagum pada Nisa.
“Alhamdulillah, ortuku setuju dengan semua permintaanku untuk menebus kesalahan mereka juga.”
Cinta mengangguk mengerti. Ternyata kehidupan Nisa tak sebaik prasangka, bahkan jalan hidupnya lebih buruk.
“Bagaimana denganmu?” tanya Nisa mengalihkan pembicaraan.
“Aku tetap membesarkan kandungan. Sampai pada saat akan melahirkan, aku berangkat sendiri ke rumah sakit …,” Cinta menarik napas panjang. “Saat itulah aku menabrak seorang wanita, ibu dari suamiku saat ini.”
“Hah? Bagaimana bisa? Kok bisa gitu?” Nisa membelalakkan matanya tak percaya.
“Entahlah, sama sekali tak ada di pikiranku bahwa akan melakukan hal itu. Bayangkan, aku membunuh seseorang. Ya walaupun sebenarnya tidak 100% salahku,” Cinta menarik napas panjang.
“Lantas?” Nisa menahan napas.
“Ibu itu berlari, menabrakkan tubuhnya pada mobilku yang berjalan dengan kecepatan tinggi.”
“Ah, Cinta ….” Nisa memeluk Cinta dengan iba.
“Aku tak tahu apa-apa, sampai lelaki itu menjadi suamiku. Lelaki yang ibunya lari ke arah mobilku. Ah, entahlah, aku sendiri bingung dengan kehidupanku.”
“Tapi sepertinya kamu sudah menjadi orang sukses,” hibur Nisa.
“Oh ya? Sukses di dalam perusahaan karena memang aku adalah anak Papa satu-satunya. Tapi tidak dengan pernikahanku.”
“Apa maksudmu?”
“Selama pernikahan kami, tak sekali pun kami melakukan hubungan suami istri. Mas Gyo seolah jijik dengan diriku. Dia hanya menyayangi Laura, bukan aku,” mata Cinta mulai berkaca-kaca saat menceritakan Gyo. Lelaki yang bertahun-tahun mengisi harinya.
“Apa? Separah itukah?” Nisa terbelalak.
“Bodohnya, aku mencintainya. Entah apa yang kulihat pada dirinya. Tapi, dia selalu memperlihatkan banyak hal baik di depanku dan Laura. Dia bahkan bagai suami sempurna saat kami menghadiri undangan pernikahan atau pesta kantor.” Pandangan mata Cinta menerawang.
“Apa yang dia lakukan padamu saat di luar?”
“Dia membukakanku pintu mobil, merapikan rambutku, memeluk pinggangku, sampai mengambilkan aku minum. Sayangnya itu dilakukannya saat banyak orang melihat kami.” Cinta menutup wajahnya dengan telapak tangan. Perih jika mengingat semuanya.
“Dasar suami bermuka dua.” Nisa mulai berapi-api.
“Mungkin aku kurang cantik,” jawab Cinta sambil mengusap air mata.
“Enggak kok, kamu udah cantik. Cantik banget malah.” Nisa menguatkan sahabatnya.
“Itu kan katamu,” jawab Cinta pelan.
Nisa berdiri dari duduknya, berjalan perlahan ke arah lemari pakaian. Mengambil sesuatu, lalu menutup lemari kembali.
“Kau tau, Cint? Allah yang bisa membolak-balik hati manusia.”
Sebuah kalimat singkat yang menohok tepat di ulu hati. Allah, entah sudah berapa tahun Cinta melupakan-Nya. Bahkan juga lupa bagaimana sholat. Masjid yang dilewati hanya sekadar lewat. Tak pernah sekalipun mampir walau hanya untuk memasukkan uang ke kotak amal. Jangan tanya puasa dan Lebaran, tak pernah sekalipun Cinta menjejakkan kaki ke masjid untuk tarawih maupun sholat Ied.
“Cinta?” Nisa menyadarkan sahabatnya.
“Ya. Mungkin aku lupa pada Allah, sehingga Dia menegurku berkali-kali. Sayang aku tak pernah menyadarinya.” Cinta mengusap air mata yang semakin deras.
“Mau main ke panti?” tanya Nisa sambil tersenyum.
“Mungkin tidak hari ini. Aku mau pulang dulu,” kata Cinta pelan.
“Ini buat kamu. Semoga kamu makin cantik dan bisa istiqomah,” Nisa mengangsurkan sesuatu yang tadi diambilnya dari lemari, sebuah kerudung.
“Bukan barang mewah, pasti kamu pun bisa membeli yang lebih bagus dari ini. Tapi, ini adalah barang yang memang ingin kuberikan padamu sejak dulu. Semoga kamu suka,” kata Nisa.
“Makasih, Nis. Kamu memang yang terbaik. Semoga Allah membalas semuanya dengan berkali-kali lipat,” ucap Cinta sambil memeluk Nisa. Tak menyangka Nisa masih sangat perhatian.
“Nis, aku bisa minta tolong padamu?”
“Iya, Cinta. Apa pun, selama aku bisa.”
“Tolong berikan ini pada anak-anak. Insyaallah aku akan memberikan santunan tiap bulan pada mereka. Minta mereka untuk mendoakanku, mendoakan keutuhan rumah tanggaku.” Cinta mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan, lalu memberikannya pada Nisa.
“Masyaallah. Semoga tiap doa yang keluar dari mulutmu, diijabah oleh Allah.”
“Aamiin. Terima kasih. Kamu memang yang terbaik.” Cinta tersenyum.
Nisa mengantar sahabatnya sampai di pintu keluar toko. Tak henti tangannya menepuk pundak Cinta, menguatkan.
===========:::::::::::