Aku melihat-lihat beberapa koleksi desainer yang belum diproduksi. Mataku menatap lekat pada sebuah desain gaun berwarna merah menyala dengan beberapa hiasan bunga di dada. Potongan leher yang rendah, akan memperlihatkan bahu dan leherku yang indah.
“Yang tadi, aku ambil semua. Sama yang ini, aku mau dari kain sutra. Bisa?” tanyaku sambil menunjuk pada desain yang menarik perhatian.
“Siap, Mbak. Mau diukur dulu biar ukurannya pas?”
“Oke!”
Sang manajer segera mengambil meteran baju, lalu mulai mengukur dan mencatat ukuran untuk gaunku nanti.
Tiba-tiba saja Galang masuk dengan pakaian yang berbeda dan membawa beberapa baju di tangan. Dia memperhatikanku dengan saksama, menunggu wanita paruh baya ini menyelesaikan tugasnya.
“Ada apa, Lang?” tanyaku sambil mengernyitkan kening.
“Mbak bisa memilihkan pakaian yang cocok untuk saya?”
Aku melihatnya dari atas sampai bawah, lalu menggeleng. “Gila aja. Kamu mau ditertawakan orang-orang kalau pakai baju seperti itu? Kamu itu menemaniku ke acara sebagai pasangan, bukan bodyguard!”
“Tapi….”
“Mbak, tolong dia juga dipilihkan, ya? Sepertinya seleranya masih rendah,” kataku pada manajer yang telah menyelesaikan pengukuran baju.
Manajer itu mengangguk, lalu meminta Galang untuk mengikutinya ke ruangan lain.
Aku berjalan melihat-lihat koleksi gaun yang ada di sana. Beberapa sering kulihat dipakai oleh teman-teman arisan Mommi. Memang di sini adalah surganya belanja baju untuk wanita yang berduit.
“Nisa.” Suara yang sangat kukenal memanggil lagi dari arah samping. Mas Hari.
“Ya, Mas? Ada apa?” tanyaku pelan tak melihat ke arahnya.
“Aku kangen kamu,” bisiknya pelan.
“Kangen? Kangen kamu bilang? Bukannya beberapa hari lagi kamu mau tunangan? Kenapa juga harus kangen padaku?” ucapku ketus tanpa melihat ke arahnya. Dia itu benar-benar menyebalkan.
“Aku mau kita rujuk.”
“Kapan kita nikah?” tanyaku pura-pura lupa. Gak tahu malu nih.
“Nis, aku serius! Setelah pernikahanku dengan Dewi, aku akan menikahimu lagi sebagai istri.” Mas Hari memegang tanganku, memaksa agar aku memandang manik matanya.
“Secara resmi?”
Kali ini pandangan mata yang berapi-api tadi berubah menjadi sayu. Ck, jelas saja Mama akan mencak-mencak kalau sampai tahu anak bungsunya itu masih bucin padaku.
“Bisa diatur kalau itu, tunggu nanti.”
Dih, bilang saja kalau mau nikah siri lagi. Mana mau Dewi berbagi suami? Mau ditaruh di mana wajah keluarga mereka jika sampai Mas Hari mau menikah lagi. Poligami.
“Aku bosan sama kamu, apalagi jika nikah siri,” kataku sarkas. Sebenarnya aku sama sekali tak bermaksud merendahkannya, tapi itu kenyataan.
“Apa kamu sudah tak mencintaiku?” tanyanya pelan.
Cinta oh cinta. Makan tuh cinta. Padahal dulu aku punya rencana akan membawa Mas Hari ke keluarga, lalu menjadikan dia penerus perusahaan. Namun, sepertinya aku harus pura-pura mlarat dulu untuk menemukan orang yang benar-benar mencintaiku.
“Aku mencintaimu, Mas. Tapi itu dulu. Sebentar lagi, aku juga akan menikah. Sama sepertimu.”
“Kamu masih jadi gelandangan?”
“Seperti yang kamu lihat, aku masih Nisa, wanita mlarat yang pernah kamu temukan di jalan.” Kubuat wajah yang satu, seolah-olah memang benar-benar wanita yang perlu dikasihani.
“Ah, jangan nikah dulu, Nisa. Tunggu aku nikah sama Dewi, lalu nanti seluruh biaya hidupmu akan aku tanggung. Aku masih mencintaimu,” ucap Mas Hari sambil menarikku ke tembok, di balik baju-baju.
Lelaki itu langsung menciumku dengan rakus. Mataku terbelalak kaget, sampai tak bisa bergerak maupun bernapas. Bahkan untuk merespon ciumannya pun tidak. Euh, menjijikkan.
“Aku tahu, kamu masih mencintaiku, kan? Tunggu aku, okey?” katanya sambil mengusap pelipisku sebelum memberikan sebuah kartu namanya, lalu pergi meninggalkanku.
Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? Dia terlalu PD bahwa aku mencintainya, tanpa menunggu jawaban dariku. Lelaki itu masih bucin sama aku setelah sekian lama kami berpisah? Haruskah aku tertawa mendapati kenyataan seperti ini?
“Bos?” sapa Galang mengagetkanku. Dia sudah berganti pakaian dengan hem putih, celana kain, dan tuxedo. Sebuah sepatu pantofel menghiasi kakinya. Tambahan, sebuah dasi panjang yang berada di lehernya.
Dia terlihat sangat tampan, apalagi jika nanti merapikan jambang yang mulai lebat. Sepertinya aku harus membawanya ke barbershop sebelum kami pulang nanti. Ingin tahu seperti apa dia jika tanpa jambang di wajah.
“Oke, sempurna.” Aku pun keluar dari balik baju-baju. Apa Galang baru saja melihat apa yang dilakukan Mas Hari padaku? Apa pendapatnya nanti? Tiba-tiba saja wajahku memerah malu.
Aku menghampiri manajer butik, lalu meminta semua baju dibungkus dan membayarnya. Kulihat sekeliling, agak jauh, Mas Hari menemani Dewi memilih gaun yang akan digunakan nanti. Beberapa kali wanita itu tersenyum dan bergelayut manja pada mantan suamiku itu.
Galang ikut memandang mereka berdua, lalu menarik napas panjang. Terlihat ada kesedihan di sana. Namun, dia bisa menguasai emosi, langsung membawa tas-tas belanja.
“Yuk pulang!” kataku pada Galang sambil menggandeng lengannya. Dia pun tak protes sama sekali.
Kami berjalan pelan melewati Mas Hari dan Dewi, “Mas Hari, Mbak Dewi, kami duluan, ya?”
Dua orang itu menoleh, kulihat wajah mereka yang sama-sama kecut. Kalau masak sayur asem, cukup lihat wajah mereka. Hahaha. Sepertinya Dewi cemburu padaku, sementara Mas Hari cemburu pada Galang.
“Galang, tunggu! Bisa kita bicara sebentar?” Tiba-tiba saja Dewi menghentikan langkah kami.
Aku menoleh ke arah Galang, dia pun menoleh ke arahku.
“Bagaimana?” tanya Galang meminta persetujuan.
“Gak masalah,” kataku sambil tersenyum padanya. Setidaknya aku bisa tahu apa yang akan diperbincangkan mereka nanti.
Galang mengangguk, lalu berjalan ke arah yang lain bersama Dewi, meninggalkanku bersama Mas Hari.
“Sepertinya calon istrimu belum bisa move on dari dia,” kataku akhirnya membuka pembicaraan setelah kami terdiam cukup lama.
Mas Hari memandangku, lalu tersenyum tipis, “Sama sepertiku yang belum bisa move on sama kamu.”
“Kamu mengizinkan Dewi ketemu mantannya?” tanyaku pelan.
“Kamu juga, kan?”
Aku mengangguk walau sebenarnya ingin tertawa. Mas Hari tidak tahu jika Galang hanya bodyguard-ku, bukan kekasihku.
“Pernikahan ini bukan mauku, kamu jangan menikah dulu, ya? Please.” Mas Hari menggenggam tanganku.
Ya Tuhan. Bucin sekali. Seandainya dulu dia tetap seperti ini dan tidak disetir oleh mamanya, mungkin aku masih mencintainya.
“Aku perlu biaya hidup sebelum nikah sama kamu, kan? Aku gak mungkin minta sama lelaki itu jika tak jadi menikah dengannya,” ucapku pelan.
“Akan kupenuhi biaya hidupmu. Aku carikan kontrakan dulu, aku buatkan ATM baru.” Tiba-tiba saja Mas Hari berkata seperti itu. Duh, seandainya kamu mengatakan itu saat kita masih berstatus suami istri.
“Maaf, Mas. Sepertinya aku belum bisa,” ucapku sambil mendatangi tempat di mana Galang pergi. Mas Hari menyigar rambutnya, tapi tetap berjalan mengikutiku.
Tempat ini terlalu luas dan banyak sekali baju yang digantung. Bisa main petak umpet di dalamnya. Di lantai dua ini pun sepi, hanya ada kami berempat. Hanya lantai satu yang ramai.
Sampai akhirnya aku melihat Galang dan Dewi sedang berciuman, melepas rindu. Oh sial! Kenapa harus di tempat seperti ini? Memangnya tak bisa di tempat lain?
“Dewi!” Tiba-tiba suara di belakangku membuat dua orang di depan sana menghentikan aktivitas mereka.
======
Part Sebelumnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-7-pov-hari/