Mempunyai mama yang otoriter itu bukan keinginanku, apalagi ditambah kakak yang sukanya menyuruh. Hidupku seperti tak ada tujuan untuk diri sendiri. Tujuan utama adalah membahagiakan Mama dan Mbak Zoya, apalagi ditambah dengan dua keponakan yang aktifnya luar biasa.
Sebagai anak bungsu, aku mengambil alih tugas Papa. Kasihan sebenarnya dengan Mama yang ditinggalkan Papa pergi dengan perempuan lain. Aku pun berusaha membahagiakan Mama tanpa segala cara.
Entah seperti apa keluargaku, Mbak Zoya yang janda tak bisa mengurus kedua anaknya. Dulu saat suaminya masih hidup, hidupnya sangat indah. Bahkan sampai mengkuliahkanku. Jadi, saat suaminya tak ada, sudah sewajarnya aku membalas budi.
Aku tahu, Mama dan Mbak Zoya pasti memilihkan seorang istri yang baik untukku. Banyak wanita yang muncul di kehidupanku, tapi hanya sesaat. Wanita-wanita itu pergi begitu saja tanpa ada kabar. Padahal aku sudah cukup cocok dengan mereka.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan Nisa, wanita yang cantik alami walau tanpa makeup. Awalnya hanya berniat memberikan tumpangan, tapi entah kenapa tiba-tiba saja Mama ingin menikahkan kami. Tentu saja aku senang. Akhirnya, setelah sekian lama.
“Ma, kok pernikahannya hanya di penghulu? Tanpa resepsi?” tanyaku pada Mama yang mempersiapkan pernikahan kami.
“Kita belum punya cukup uang untuk menggelar pernikahan besar. Lagipula nanti kan pakai wali hakim, pasti uangnya juga lebih banyak. Memang kamu tahu siapa orang tua Nisa?”
Aku menggeleng pelan. Nisa tak pernah mengaku jika ditanya tentang keluarganya. Dia selalu bilang hidup sendirian tanpa keluarga. Apalagi saat dia mulai mengeluarkan benda berharga yang dimiliki untuk pernikahan sementara, Mama langsung mengiyakan.
“Nanti kalian akad resminya barengan sama Zoya. Dia mau dilamar sama orang kaya, jadi nanti biar sekalian bikin acaranya,” ucap Mama meyakinkan.
Aku cinta padanya sejak pandangan pertama. Nisa itu berbeda, tidak seperti wanita kebanyakan. Walau terlihat sederhana, dia seolah punya kharisma. Tapi tetap saja, semua harus diatur oleh Mama. Lagi-lagi aku tak ingin mengecewakan wanita yang telah melahirkanku itu.
“Har, kita harus mulai menabung untuk pernikahan kamu dan Zoya. Gimana kalau pembantu kita pecat saja? Menghemat pengeluaran,” kata Mama pada minggu pertama pernikahan kami.
“Dipecat, Ma? Nanti siapa yang memasak dan membersihkan rumah?” kataku tak setuju.
“Mama, Nisa, dan Mbak Zoya bisa bagi tugas,” ucap Mama memberi solusi.
Aku terpekur, memikirkan ucapan Mama. Tak yakin jika Mama dan Mbak Zoya akan berbagi tugas. Bisa jadi malah Nisa yang mengerjakan semuanya.
“Sebaiknya jangan, Ma. Tunggu satu bulan dulu Nisa di sini agar dia bisa menyesuaikan diri,” ucapku pelan.
“Oke! Sampai satu bulan!” ucap Mama sebelum pergi meninggalkanku sendiri.
Sebulan setelah pernikahan, pembantu benar-benar dipecat oleh Mama. Sepulang kerja, tak lagi kudapati wanita yang sering membantu di rumah. Namun, kulihat rumah sudah bersih dan semua makanan sudah terhidang di atas meja.
“Mas, aku capek. Seharian tadi bersih-bersih, nyuci, dan masak,” ucap Nisa ketika aku minta hak sebagai seorang suami.
“Lho? Mbak Zoya dan Mama gak bantuin?”
“Boro-boro, Mas. Mereka cuma nyuruh ini-itu.” Bibir Nisa mengerucut. Wajahnya juga terlihat kelelahan juga.
“Sabar, ya, Sayang? Nanti aku bilang ke Mama dan Mbak Zoya biar bantuin kamu,” kataku menenangkannya.
Baru hari pertama, terlihat tangan halusnya sudah mulai kasar. Namun, di hari-hari berikutnya, aku berkata bahwa Nisa harus mengalah. Tak mudah meminta Mama dan Mbak Zoya untuk berbagi tugas. Jika membawa pembantu baru, aku harus mendapatkan uang sampingan karena Mama jelas tak mau uang yang kuberikan padanya itu berkurang.
Satu bulan berlalu, ternyata uang sampinganku hanya cukup untuk membelikan makeup Nisa tanpa ketahuan Mama. Uang bulanan Nisa pun dijatah oleh Mama. Katanya itu termasuk kebutuhan makan di rumah. Aku mulai gelisah, antara membela Nisa atau selalu menuruti keinginan Mama.
“Kamu harus bertahan ya? Apa yang Mama lakukan ini untuk kita,” kataku tiap kali Nisa mulai mengeluh.
Sampai hari itu pun tiba. Aku cemburu pada calon suaminya Mbak Zoya. Bagaimana lelaki itu melihat Nisa tanpa berkedip, tapi aku bisa apa? Kekesalan kulimpahkan semuanya pada istri tercinta. Kulempar dan tampar dia, belum lagi ditambah dengan ucapan-ucapan kotor untuknya.
Aku tak pernah melakukan hal seperti itu selama kami menikah, sampai melihat wajah Nisa yang menderita. Penyesalan datang, kupeluk dia. Ah, begini jika aku cemburu, selalu tak bisa mengendalikan emosi.
Seharusnya aku tak marah pada Nisa, tapi pada Mas Fian yang melihat wanitaku tanpa berkedip. Namun, aku bisa apa? Memarahi Mas Fian, itu artinya sama dengan mengibarkan bendera perang pada Mama dan Mbak Zoya.
Nisa pergi, membawa separuh hatiku. Memang dia bukan siapa-siapa, bukan pula orang kaya. Namun, hatiku sudah tertambat padanya. Aku mencintainya. Salahkah?
Demi menuruti apa mau Mama, aku pun mulai berkenalan dengan wanita lain. Lagi-lagi wanita yang berbeda, seperti dulu. Namun, entah kenapa hatiku masih tertambat pada Nisa. Wanita itu sudah menyihirku dengan segala pesonanya.
“Nisa?” Akhirnya aku menemukan wanita itu setelah sekian lama. Dia bagaikan hilang di telan bumi. Sayangnya dia sudah bersama dengan seorang lelaki.
“Hai, Mas,” jawab Nisa dengan gugup, dia semakin cantik dan aku merasa dia masih menyimpan rasa juga padaku. Seperti aku yang tak bisa melupakannya.
Tiba-tiba ingatanku melayang pada perkenalan kami, lalu pada malam-malam yang telah kami lewati bersama selama beberapa bulan. Jelas itu adalah masa-masa yang indah dan kenangan yang tak akan pernah bisa kulupakan.
“Kamu ngapain di sini? Yuk cepat ke dalam. Sudah ditunggu lho!” ucap Dewi yang tiba-tiba ada di antara aku dan Nisa.
Dewi adalah calon istriku yang entah ke berapa. Kali ini Mama benar-benar serius mencarikanku calon istri, sampai untuk menentukan tanggal pertunangan saja, harus membuat acara yang tak biasa. Sungguh berbeda dengan dulu saat aku menikahi Nisa.
“Yuk, Mas! Kita ke dalam,” kata Nisa sambil menggandeng lengan seorang lelaki yang tak kukenal. Mereka sangat akrab, seperti sepasang kekasih. Apa mereka ke sini untuk mencari gaun pengantin?
Aku terdiam beberapa saat, membiarkan dua orang itu meninggalkanku dan Dewi. Hatiku hancur melihatnya, ingin kurengkuh tubuhnya, lalu meminta maaf. Ingin kupukuli lelaki yang bersamanya itu.
Namun, lagi-lagi bayangan Mama dan Mbak Zoya langsung berkelebat. Mereka pasti akan sangat marah jika sampai rencana pernikahan ini batal.
“Dia siapa, Mas?” tanya Dewi membuyarkan lamunanku.
“Dia? Nisa.”
“Orang istimewa?” Lagi-lagi Dewi bertanya dengan pandangan curiga.
Le solvant dmso a été utilisé comme témoin.
Le système a été kamagra prix calibré avant chaque test.
Le Viagra dure entre quatre et cinq heures.
Le https://www.cialispascherfr24.com/cialis-bon-marche/ Viagra est le moins efficace tadalafil 10 prix des trois..
Le viagra est-il disponible en vente libre.
Ingin aku berkata iya, tapi bagaimana tanggapannya nanti? Dia pasti akan cemburu dan marah. “Bukan, hanya pernah kenal.”
=====
Part Sebelumnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-6/
Part Selanjutnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-8/
1 Comment. Leave new
Kak,kenapa tak cari d fizzo gk ada