Bodyguard yang Mommi sewa sudah datang, tidak jelek-jelek amat. Cukup tampan.
“Berapa, Mom?” tanyaku kepo. Jelas dilihat dari penampilan itu mahal, tapi belum tahu juga soal kualitas.
“Sama seperti uang jajanmu sebulan,” jawab Mommi.
“Lumayan. Semoga aja hasilnya sesuai dengan gajinya,” kataku sambil melihat lelaki itu dari atas sampai bawah.
Aku tak yakin dia mendapatkan gaji yang sama dengan uang jajanku. Pasti dipotong beberapa persen untuk agensinya.
“Profilmu?” tanyaku padanya.
Dia memberikan sebuah map berwarna hitam. Di dalamnya berisi tentang siapa dia. Galang, 30 tahun, mantan seorang anggota militer. Dikeluarkan karena perilaku tidak baik.
“Kenapa keluar dari militer?”
“Tidak mematuhi perintah atasan!” jawabnya tegas.
Aku mengedikkan bahu, tak terlalu peduli. Jika di militer dia tak mematuhi atasan, di sini harus patuh padaku.
“Mom, aku mau pergi dulu.”
“Kartu ATM kamu sudah Mommi isi. Kalau kurang bisa pakai kartu kredit,” kata Mommi sambil memberikan beberapa kartu berlogo beberapa bank ternama.
“Siap, Mommi!” Kucium pipi Mommi kiri dan kanan sebelum meninggalkannya.
Galang mengikutiku, dia tak bisa tersenyum, seperti boneka yang hanya bergerak mengikuti tuannya. Kulemparkan kunci mobil padanya, tentu agar dia yang menyetir. Malas rasanya menyetir mobil sendiri.
“Kita ke sini!” Kutunjukkan sebuah alamat yang terpampang di google maps pada mobil.
Alamat siapa lagi kalau bukan Mas Hari. Aku akan minta bantuan Pak Asep untuk melancarkan misi kali ini.
“Pak Asep!” panggilku ketika melihat orang itu duduk di pos satpam.
“Mbak Nisa? Kok kembali lagi, Mbak?”
“Aku mau minta bantuan Pak Asep, bisa?”
“Bantuan apa, Mbak?”
“Pasangin CCTV ini di rumah,” kataku sambil memberikan dua kamera CCTV kecil yang pastinya tak akan bisa diketahui oleh keluarga itu.
“Pak Asep gak berani, Mbak.”
Rupanya satpam itu takut jika bermasalah sama keluarga Mas Hari.
“Nisa ada uang, cukup buat biaya rumah sakit anak Bapak,” kataku sambil memberi kode ke arah Gilang.
Lelaki itu mengambil amplop besar di jok belakang, lalu membukanya. Terlihat tumpukan uang di dalamnya.
“Gimana, Pak?”
Pak Asep terdiam beberapa saat, menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. “Oke, saya setuju.”
“Ini nomor telepon saya, segera hubungi jika ada hal yang perlu dilaporkan,” kataku sambil memberikan sebuah kartu nama di antara dua CCTV yang kuberikan padanya.
Pak Asep mengangguk, menerima semua yang kuberikan.
“Yuk cabut! Aku mau ke salon, udah lama banget gak perawatan.”
Mobil berjalan meninggalkan rumah Mas Hari, kami menuju ke salon langganan keluarga. Sepertinya Galang memang dilatih untuk hal-hal sekecil ini. Tak perlu dijelaskan, dia sudah mengerti tempat mana yang harus didatangi. Apalagi dia tak banyak komentar.
“Kamu bisa dipercaya gak?” tanyaku padanya.
“Bisa, Bos!”
“Oke! Tugasmu mempelajari semua tentang Mas Hari. Profilnya aku kirim ke hapemu. Selain itu, jangan tanya apa pun. Misiku balas dendam sama keluarga mereka.”
Galang mengangguk, lalu memarkirkan mobil ke tempat parkir di depan salon kecantikan. Dia tak menunggu lama, dibukakannya pintu mobil agar aku bisa keluar. Tak hanya menjadi bodyguard, tapi sepertinya bisa menjadi asisten yang baik.
Aku melangkah ke dalam salon saat kulihat Mbak Zoya dan Mama ternyata juga sudah ada di sana. Mereka cukup kaget melihat kedatanganku, lalu mulai mencibir.
“Ternyata ada yang sudah punya gebetan baru biar gak mlarat,” kata Mama sambil melihat tajam ke arahku.
“Gebetan? Jual tubuh mungkin, Ma!” ucap Mbak Zoya asal sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku menggertakkan gigi dengan keras mendengar omongan mereka. Jual diri? Jelas mereka tak tahu siapa sebenarnya aku. Mereka yang miskin, tak hanya miskin harta, tapi juga miskin mental.
Kulihat Galang mengangkat sebelah alisnya melihatku. Dia tahu siapa mereka dari profil keluarga nenek sihir yang kuberikan padanya.
“Urusan perempuan jangan ikutan. Tunggu saja di luar,” kataku pelan sambil berjalan ke arah bagian pendaftaran.
Galang mengangguk, lalu pergi dari tempat itu. Di ruang tunggu tempat itu hanya ada kami bertiga, jelas mereka sedang menunggu giliran atau menunggu seseorang. Di tempat ini, tempat perawatannya tergantung dengan kelas yang dipilih. Jika ruangannya penuh, maka harus menunggu di luar.
“Siang, Kakak. Mau perawatan seperti biasanya?” sapa bagian pendaftaran yang sudah tahu siapa aku karena Mommi dan aku sering ke tempat ini.
Aku mengangguk sambil mengeluarkan nomor kartu VVIP, lalu bagian pendaftaran memberikanku sebuah kertas untuk diisi sebelum seorang terapis senior mengajakku berjalan ke sebuah ruangan khusus di lantai tiga. VVIP ini adalah tempat yang jarang dipilih karena masuk kategori yang lumayan mahal. Antre sama mereka? Ih amit-amit. Jangan sampai telingaku rusak karena mendengar suara mereke
“VVIP lho,” kata Mbak Zoya pada Mama.
“Halah, palingan dibayarin sama om-om. Mana punya duit dia ke tempat seperti ini, apalagi ke perawatan VVIP.”
“Iya juga sih, Ma. Sekali jadi orang mlarat, selamanya tetep jadi orang mlarat.” Mbak Zoya tertawa jahat sambil memandangku.
Aku menarik napas panjang, membiarkan dua orang itu berkata semaunya.
“Calon istri Mas Heri kok lama, ya?” tanya Mbak Zoya, sengaja dikeraskan.
“Bentar lagi Cindy juga sampai. Calon mantu satu itu emang the best. Mau membawa kita ke klinik kecantikan seperti ini. Tidak seperti dia yang bisanya cuma nyuci baju, ngepel, dan masak. Bisanya cuma ngerjain tugas pembantu. Cindy memang menantu idaman.” Mama, eh nenek sihir itu langsung mengelukan calon menantunya.
Ah, jadi lelaki itu tiba-tiba saja sudah mau menikah lagi? Padahal baru beberapa hari aku pergi dari sana. Brengsek benar dia, gitu bilangnya cinta? Sengaja aku duduk di tempat yang terpisah, lalu mengisi formulir pelan-pelan.
“Mama, Mbak Zoya.” Seorang perempuan datang, aku pun segera menoleh.
Cantik, tapi tak yakin jika dia cantik alami. Bisa jadi makeup tebal menutupi wajahnya. Kulihat penampilannya dari atas sampai bawah, seperti OKB. Tahu kan apa itu OKB? Orang kaya baru.
“Wah, tas baru lagi, Cin?” tanya Mbak Zoya pada wanita itu.
“Tas lama kok, Mbak. Beli di Hongkong bulan lalu.”
“Wah, bagus banget. Harga berapa?” Mbak Zoya mulai ngompor.
“Murah yang ini. Cuma tiga juta.”
“Mama mau dong dibelikan juga, biar kembaran.” Mama mulai melancarkan aksi matrenya.
“Mbak Zoya juga mau? Biar sekalian belinya,” tawar wanita itu sambil tersenyum.
“Mau doooong!”
Kulihat tas wanita itu secara detail, lalu tersenyum sinis. Tas tiga jutaan? Yang benar saja. Kw berapa tuh? Benar-benar deh cocok banget tukang belanja sama pembohong seperti wanita itu.
Ya walaupun aku tak suka pakai tas-tas seperti itu, aku tahu beberapa koleksi Mommi. Ada juga yang mirip seperti itu, tapi jelas bukan tiga juta. Mommi selalu beli yang ori dan harganya di atas tiga puluh juta.
Kuselesaikan mengisi formulir, lalu segera mengambil minuman botol di atas meja, meminumnya sedikit. Dengan pelan, aku pura-pura keluar sebentar, lalu masuk lagi. Agar bisa melewati tempat duduk mereka.
Sengaja, aku pura-pura mau jatuh, lalu menumpahkan minuman yang kubawa ke tas yang sedang dibicarakan. Rasain!
“Hei! Apa yang kamu lakukan?! Lihat nih tasnya jadi kotor!” Mama berdiri dengan marah, tangannya menunjuk padaku.
“Aduh, maaf, ya, Mbak,” kataku pada wanita itu, mengambil tisu di atas meja, lalu membersihkan tasnya.
“Kamu iri ya? Kalo gak bisa beli, jangan cari masalah. Kamu harus ganti! Tiga juta!” kata Mbak Zoya berapi-api.
“Tiga juta, ya? Aku ganti tas yang sama aja gimana, Mbak?” kataku pada Cindy.
Wanita itu tak bersuara, hanya memandangku dengan wajah pucat pasi. Tak kupedulikan Mama dan Mbak Zoya yang marah-marah tak keruan.
“Gak apa-apa, Mbak.”
Kukeluarkan ponsel, memfoto tas itu, mengirim pada asisten Mommi sebelum meneleponnya.
“Aku mau tas seperti yang di foto dalam waktu satu jam, ya? Aku tunggu di klinik kecantikan biasanya.”
“Gak apa-apa kok, tas ini mah masih kw. Aku bisa beli 10,” bisikku pelan di telinga wanita itu.
=======
Part Sebelumnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-3/
Part Selanjutnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-5/