Aku memegang dada yang teras sakit. Perkataan Mas Hari itu tak pernah sekali pun diucapkan sejak kami menikah. Padahal biasanya aku juga berdandan seperti ini untuk menyambutnya. Apa sekarang ada lelaki baru, dia jadi berubah seperti itu padaku? Padahal lelaki itu adalah calon iparnya.
“Mas, bukankah aku setiap hari seperti ini? Kenapa Mas tega mengatakan hal seperti itu padaku?”
“Dengar, Nis! Aku gak suka ada lelaki yang memandangmu seperti itu. Apalagi itu adalah calon suaminya Mbak Zoya. Apa kamu mau merebut calon suaminya Mbak Zoya? Mau jadi pelacur kamu?”
“Sumpah, Mas. Nisa gak pernah punya keinginan seperti itu. Nisa cuma pingin cantik di depan Mas Hari,” ucapku dengan air mata yang mengalir deras.
“Kamu sengaja mau menggoda dia, kan? Iya, kan?”
“Enggak, Mas. Sungguh.”
“Dasar! Pelacur juga tetap pelacur. Sama seperti kamu yang kutemukan di jalan!”
“Mas!”
“Bukannya saat itu kamu juga sudah tak perawan? Heh?”
“Mas? Tak keluar darah saat malam pertama itu bukan berarti tak perawan!”
“Alah alasan! Dasar sundal! Sudah berani membantah kamu, ya? Dasar anak lonte!” Sebuah tamparan dilayangkan.
“Sakit, Mas! Ampuuun!” teriakku sambil memegang pipi.
“Diam! Mau ditambah satu tamparan lagi, heh?”
“Ampun, Mas. Ampun…. Jangan tampar Nisa lagi. Ampun, Mas.”
Tak kupedulikan orang-orang di luar sana yang mendengar percakapan kami. Aku tak peduli. Lelaki yang menjadi suamiku ini telah berubah 180 derajat. Tak ada ucapan manis dari bibirnya. Apan suamiku sangat cemburu sehingga menjadi kasar seperti ini?
Mas Hari menutup wajahnya pelan, lalu menghampiriku. “Maaf, maaf. Maafkan aku, ya? Aku gak sengaja. Maaf. Aku terlalu cemburu saat orang lain menatapmu seperti itu. Aku….”
Mas Hari langsung memeluk tubuhku, diciumnya ujung kepalaku dengan sedih, terlihat penuh penyesalan. Baru kali ini dia merasa cemburu. Apa karena lelaki itu terlihat lebih tampan darinya? Sepertinya tidak.
Aku menarik napas panjang, lalu mengangguk. Apa ini karena terlalu cinta padanya? Semudah itu aku memaafkan tiap kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya. Padahal kata-kata itu menyakiti hatiku. Sangat menyakitkan. Namun, jika aku marah dan pergi dari sini, mau ke mana?
“Mas jangan ngomong gitu lagi sama Nisa, ya? Hati Nisa sakit, Mas. Seperti dicubit.”
“Maafin, Mas, ya? Mas terlalu emosi dan cemburu.”
“Mas cinta sama Nisa?”
“Iya, Pasti!”
“Lantas, kapan kita mendaftarkan pernikahan secara resmi, Mas?” tanyaku pelan.
“Sabar, ya? Tunggu Mbak Zoya mau nikah. Nanti daftarnya bareng. Gimana?” ucapnya pelan sambil tersenyum memandangku.
Ah, selalu seperti itu. Memang tak enak menjadi istri siri. Bagaimana kalau sampai orang tuaku tahu bahwa kami menikah di bawah tangan? Bisa-bisa habis Mas Hari dihajar.
“Mas, apa kita bisa cari tempat lain nanti?”
“Kenapa lagi?”
“Mama dan Mbak Zoya selalu minta banyak hal ke Nisa.”
“Nisa, kamu tahu kan jika Mas ini anak bungsu. Artinya kita harus tetap di sini. Sabarkan hatimu, ya?”
“Mas gak mau ngasih tahu Mama atau Mbak Zoya gitu?” Aku kecewa dengan ucapan Mas Hari. Selalu seperti itu. Sabar, sabar, dan sabar.
“Mama dan Mbak Zoya itu tanggung jawabnya Mas. Artinya, kamu juga ikut tanggung jawab ke mereka.”
“Lho? Kok jadi aku?” Aku tak habis pikir dengan pemikiran Mas Hari. Memangnya mereka masih anak-anak sehingga apa-apa masih minta bantuanku? Bahkan sampai cuci baju dalaman mereka, itu juga aku. “Bagaimana kalau cari pembantu?”
“Aduh, Mas belum bisa kalau itu. Kamu tahu sendiri kan bagaimana Mama jika sampai uang belanjanya berkurang?” ucap Mas Hari bingung.
“Lantas? Apa aku yang harus mengerjakan semua ini, Mas?” tanyaku tak percaya.
“Pembantu sebelumnya gaji dua juga sebulan. Sekarang kan udah aku kasih buat kamu, seratus ribu sebulan. Pengeluaran udah tiga juta.”
“Ya ampun, Mas. Itu tiga juta buat belanja. Apa selama ini Mas gak mikir kalau dulu itu, pembantu gak pakai mikir belanja buat masak?” Aku gemas sekali dengan Mas Hari yang plin-plan ini.
“Mama perlu nabung buat pernikahan Mbak Zoya nanti.”
“Oh, jadi selama ini aku cuma dianggap sebagai pengganti pembantu?” tanyaku tak percaya.
“Bukan begitu. Aku cinta sama kamu, tapi kita tak perlu berfoya-foya untuk menikah, kan? Yang penting halal.”
“Lantas Mbak Zoya? Apakah Mama tidak foya-foya untuk pernikahannya?”
“Bukan seperti itu. Nanti uangnya pasti balik kalo nikah.”
“Kalau kita? Uangnya gak balik, begitu?”
“Bisa gak sih kita gak perlu berdebat seperti ini? Ini pembicaraan yang gak akan ada ujungnya.”
“Bisa kok kalau Mas juga bisa adil padaku dan keluarga Mas.”
“Kamu bikin Mas ini makin stres saja! Mas mau keluar dulu nemui tamu. Kamu tetap di kamar!” ucap Mas Hari sebelum pergi.
Air mataku menetes lagi, menyebalkan sekali lama-lama lelaki seperti dia. Tak punya pendirian dan mau enaknya saja. Seperti mamanya. Benar-benar menyebalkan.
Seumur hidup, aku tak pernah diperlakukan seperti ini oleh kedua orang tua. Mereka selalu memanjakan. Apa pun yang kuinginkan selalu tersedia. Bahkan tanpa aku minta, semua ada. Ah, aku rindu mereka.
Dengan cepat kukemasi beberapa baju dan makeup, kumasukkan ke dalam tas ransel kecil. Tak ada benda berharga yang kupunya. Semua sudah habis untuk pernikahan kami yang hanya nikah siri. Mas Hari? Jangan tanya. Mamanya tak mau mengeluarkan uang sepeser pun. Sepertinya aku harus kembali pada kedua orang tua, cukup sudah. Mereka pasti mencari dan merindukanku.
“Nisa, mau ke mana?” tanya Mama begitu melihatku keluar dari kamar dengan tas ransel.
“Mau keluar dari neraka! Toh percuma Nisa di sini.”
“Nisa! Mas ini suami kamu lho. Kamu gak Mas izinkan keluar dari rumah ini!” ucap Mas Hari sambil berdiri dari tempat duduknya.
Tamu-tamu yang ada di ruangan itu memperhatikanku dengan pandangan yang tak bisa diartikan.
“Oh ya? Apa buktinya kita suami istri? Tak ada surat nikah, kan?” tanyaku dengan sinis, lalu melenggang pergi meninggalkan ruang tamu.
“Har, kejar istrimu! Nanti siapa yang bakal masak dan bersih-bersih kalo dia gak ada di sini?” kata Mama yang sempat kudengar.
“Iya, Ma!” jawab Mas Hari patuh, lalu kudengar suara langkahnya berlari.
What? Siapa yang masak dan bersih-bersih? Dipikir aku ini pembantu? Sudah menikah di bawah tangan, masih disuruh macam-macam seperti pembantu. Eh sekarang malah gak boleh pergi dengan alasan seperti itu. Masih ada orang kaya yang mentalnya miskin seperti mereka.
“Nis, tunggu! Aku gak bakal mukul kamu lagi, gak bakal kasar sama kamu lagi, tapi jangan tinggalin aku. Aku cinta sama kamu!” kata Mas Hari sambil mencekal tanganku.
“Cinta? Mas cuma mau jadikan aku pembantu! Cukup! Aku ini istrimu, Mas. Bukan pembantu!”
==========
Part Sebelumnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-1/
Part Selanjutnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-3/