“Sini! Ini lantainya belum bersih! Lihat tuh masih ada jejak kaki!”
“Tapi, Ma. Itu tadi sudah bersih, itu anak-anaknya Mbak Zoya yang lari-lari saat lantai masih basah,” kataku pelan sambil menggigit bibir bawah.
“Gak usah ngeles! Anak-anak dijadikan alasan. Cepet bersihkan lagi. Sebentar lagi calon besan sudah datang. Jangan sampai mereka liat rumah ini masih kotor!” teriak Mama sambil menunjuk ke arah lantai.
Aku menggigit bibir bawah dengan air mata yang mau tumpah. Ternyata kemanisan berumah tangga hanya dirasakan sebulan, setelah itu aku menjadi pembantu di rumah besar ini. Mama yang otoriter dan juga para ipar yang selalu menyuruh ini-itu seperti bos. Suami? Jangan tanya. Hanya pulang malam, minta jatah, lalu tidur. Berangkat pagi untuk kerja, pulang malam. Selalu seperti itu.
Ingin berontak, tapi tak bisa. Mau ke mana? Sementara namaku pun sudah dicoret dari daftar keluarga. Pikirku, menikah dengan Mas Hari adalah pilihan yang tepat. Walau dingin, lelaki itu tak pernah mengomentari apa pun yang kulakukan. Tak pernah menyuruh ini itu, hanya meminta jatahnya sebagai seorang suami.
Nyatanya, sebulan setelah akad nikah sederhana dilaksanakan, aku menjadi babu di rumah ini. Miris sekali.
Kuambil alat pel di dekat kamar mandi, lalu mulai mengepel lagi di lantai yang ditunjuk ibu. Jelas sudah ada jejak langkah kaki kecil anak-anak Mbak Zoya, kakak pertama dari Mas Hari. Wanita yang suka jalan-jalan dan menghabiskan uang itu adalah janda. Menghabiskan uang, uang siapa? Jelas itu adalah uang Mas Hari.
Mas Hari sendiri adalah seorang manajer di sebuah pabrik susu. Gajinya entah, aku tak tahu. Tak pernah tahu slip gaji. Sementara semua uangnya diberikan kepada Mama. Katanya, Mama dan Mbak Zoya adalah tanggung jawabnya. Plus dua anak lelaki yang tak pernah berhenti berlari dan mengobrak-abrik lemari. Untuk masak sehari-hari, aku mendapat jatah seratus ribu. Harus memutar otak untuk mengisi perut 6 orang 3x sehari.
“Nis, jangan lupa masak yang enak. Itu bahannya udah ada di dapur,” kata Mbak Zoya sambil mewarnai kuku-kuku jari tangannya. “Jangan lupa, dua jam lagi calon mertuaku datang.”
“Iya, Mbak.” Aku berlari ke dalam dapur setelah mengepel. Tak ingin kakak ipar satu itu makin meradang.
Sebenarnya Mbak Zoya tidak jahat, em, maksudnya tidak sejahat Mama. Namun, dia suka menyindir dan mengenalkan teman-teman sosialitanya pada Mas Hari. Itu yang aku tak suka. Dia pikir, Mas Hari akan tertarik dengan mereka? Mas Hari selalu berkata bahwa dia mencintaiku dan menjadikanku ratu di hatinya.
Untung saja aku sudah cantik dari lahir, apalagi memang terlahir dari keluarga kaya. Sayangnya kekayaan tidak membuat hatiku bahagia. Orang tua terlalu sibuk dengan usaha mereka, hingga akan menikahkanku dengan anak kolega mereka. Tentu saja aku tak mau dan langsung kabur. Hingga akhirnya bertemu dengan Mas Hari.
Segera kumasak bahan-bahan masakan yang memang sengaja dibeli oleh Mama untuk menyambut calon besan. Tidak rugi juga belajar memasak dari koki di rumah untuk menghabiskan waktu luang. Bahkan seluruh resep andalannya bisa kuhapal di luar kepala. Koki itu Ayah pilih dari restoran langganan kami.
Harum masakan menguar, waktu dua jam sudah lebih dari cukup untuk menjadikan bahan makanan itu menjadi makanan yang luar biasa enak. Siapa dulu dong? Nisa gitu lho. Biasanya tak pernah masak enak karena bahan yang disediakan pun ala kadarnya. Kali ini aku pun bisa sedikit menyicipi makanan yang luar biasa enak.
Berada terlalu lama di dapur, aku tak sadar jika rombongan calon besan Mama sudah datang. Segera kutata dengan sedemikian rupa di atas meja. Tak ada yang membantu, biar saja. Sejak aku di rumah ini, pembantu sebelumnya dipecat.
Aku mengintip di balik pintu dapur saat melihat rombongan menuju meja makan. Terlihat seorang lelaki paruh baya, wanita yang cantik dan terlihat elegan, seorang lelaki yang, hm, tampan. Sementara Mama dan Mbak Zoya mempersilakan mereka makan. Tak kulihat si kecil Rio dan Rey yang biasanya berlarian. Mungkin diungsikan ke rumah tetangga.
“Bunda, ini masakannya Zoya lho. Dimakan, ya?” ucap Mbak Zoya pada calon mertuanya sambil mengambilkan nasi untuk lelaki tampan, em, mungkin calon suaminya.
“Wah, kamu bisa masak juga? Kok aku baru tahu, ya?” tanya lelaki itu sambil tersenyum, lalu menerima piring dari Mbak Zoya.
“Iya dong. Apa sih yang Zoya gak bisa?” ucap Mama sambil tersenyum bangga.
Mbak Zoya? Diiih, dia kan cuma bisa belanja, makeup, dan juga bermanja-manja. Ah, biarlah masakanku diaku oleh mereka.
“Enak lho masakannya Nak Zoya. Ayah bisa makan terus nih di rumah,” ucap sang calon besan lelaki.
“Ayah Dion bisa saja. Kan calon menantumu ini jadi malu,” ucap Zoya dengan tersipu.
Aku majukan bibir, lalu melihat ke arah jam dinding. Sebentar lagi Mas Hari pulang dari kantor, aku harus bersiap mandi untuk menyambutnya. Jangan sampai dia marah karena aku tak tampil cantik saat dia pulang kerja.
Peraturan dari Mama tadi, jangan sampai mengganggu suasana makan dengan hadirnya aku di sana. Mungkin takut putrinya jadi kalah saingan. Aku pun lewat pintu belakang untuk menuju kamar. Lebih baik segera ke kamar dan mandi di sana, daripada mendengarkan hal yang membuat perutku mual.
Segera kubersihkan dapur sampai tak ada noda. Namun, mataku bertemu dengan lelaki tadi, calon suaminya Mbak Zoya.
“Permisi, Mbak. Mau ke kamar mandi.”
“Oh iya, itu kamar mandinya di pojok sebelah kanan.”
Lelaki itu tersenyum, lalu pergi meninggalkanku.
“Eh, sepertinya wajahnya Mbak gak asing deh?”
“Hah?” Aku kaget saat menyadari lelaki itu membalikkan badannya.
“Apa kita pernah ketemu sebelumnya?”
“Eh, tidak. Sepertinya wajah saya memang pasaran. Permisi.” Aku segera pergi meninggalkan lelaki itu.
Di dalam kamar mandi, pikiranku melayang. Apa benar lelaki itu pernah bertemu denganku? Padahal aku baru sekali ini bertemu dengannya. Tidak mungkin dia mengenaliku. Sungguh tak enak dibuatnya.
Setelah mandi, aku segera memoles makeup ke wajah, cantik. Tidak seperti tadi yang terkena keringat dan debu. Ini yang selalu kulakukan agar Mas Hari betah di rumah. Apalagi lelaki itu memang membelikan makeup agar bisa kupakai setiap hari, jika habis, aku pun langsung meminta padanya.
Suara mobil masuk ke garasi, aku segera menyambut Mas Hari. Lelakiku turun dari mobil, lalu memberikan tasnya padaku.
Mata Mas Hari memicing melihatku, lalu melihat ke dalam rumah, “Ada tamu?”
“Iya, Mas. Calon suami Mbak Zoya.”
Mas Hari segera masuk ke dalam rumah, aku pun mengekor di belakangnya. Dia langsung berkumpul dengan keluarganya di ruang makan. Namun, tiba-tiba matanya memandangku dengan sengit.
“Kamu! Masuk kamar!”
Aku terkejut, lalu segera pergi ke kamar, mengikuti apa katanya.
“Kamu sengaja mau menggoda Mas Fian?” kata Mas Hari sambil menarik rambut panjangku.
“Aduuuh, Mas, lepas, Mas. Sakit, Mas!” Air mata langsung merebak, mau keluar.
“Kamu dandan gini buat lelaki itu, heh? Dia melihat kamu dari tadi! Kamu mau jadi pelacur?”
“Mas, aku sama sekali gak berpikiran seperti itu,” ucapku di sela isak tangis.
“Dasar pelacur!” Mas Hari langsung melempar tubuhku ke atas tempat tidur.
=======
Part Selanjutnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-2/