Mudah sekali mengetahui tentang Dewi dan keluarganya. Untungnya di sini, aku bisa tahu kapan keluarga mereka akan bertemu untuk makan malam, sekalian membahas pertunangan mereka yang tinggal beberapa hari lagi. Memang ballroom hotel sengaja ditata sedemikian rupa agar para wartawan bisa tahu tentang rencana tersebut. Ya maklum sih, orang kaya.
Bagusnya lagi, Mommi dan Poppi dapat undangan menghadiri acara tersebut. Tidak semua orang bisa menghadiri acara itu, hanya yang diundang saja. Sebenarnya orang tuaku agak malas datang ke sana, mereka kurang suka sama orang-orang yang suka cari muka. Masalah mau menentukan tanggal pertunangan saja mengundang kolega dan wartawan. Seperti bakal beneran nikah aja.
Aku menahan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun. Apa rencana pertunangan itu membuatku marah? Apa aku cemburu? Apa aku kasih punya rasa cinta buat Mas Hari? Ah, gila rasanya jika memikirkan hal-hal seperti itu. Yang jelas, aku tak suka Mas Hari menikah dan mendapatkan putri dari pemilik Gold Hotel.
“Undangannya boleh buat aku, Mom?” tanyaku saat melihat undangan berwarna emas yang tergeletak begitu saja di meja.
“Ambil aja. Mommi dan Poppi tak bisa datang ke acara itu. Kamu kenal dengan Dewi?” tanya Mommi penasaran.
“Bukan sih, tapi sama keluarga calon suaminya,” jawabku sambil mengambil undangan tersebut.
“Memang kenal di mana?”
“Ada deh. Mommi kepo ih,” jawabku sambil tertawa.
Mana mungkin aku berkata bahwa Mas Hari adalah lelaki yang menjadikanku istrinya? Keluarga mereka yang juga menjadikanku pembantu. Mommi tak akan masalah jika barang berharga atau uangku habis, tapi dia bakal marah banget kalau sampai putri semata wayangnya ini sampai dimanfaatkan untuk dijadikan pembantu.
“Mom, aku ke butik dulu buat beli gaun, ya? Sekalian ngajakin Galang,” kataku sambil memainkan undangan itu.
“Hah? Tumben mau beli gaun?” Mommi heran dengan sifatku yang tiba-tiba berubah.
“Ya kan masa’ aku pinjem baju punya Mommi sih? Lagian aku juga gak punya gaun di lemari. Mau beli beberapa potong juga.”
“Oke. Sekalian belikan baju bagus buat lelaki itu. Dia irit banget, bajunya juga itu-itu saja. Jangan sampai bikin keluarga kita malu.”
“Mom, pinjam perhiasannya juga, ya?” Aku mulai memikirkan akan memakai gaun dan riasan apa untuk acara nanti.
“Pinjam? Ambil aja kamu suka yang mana. Kalo tidak ada yang cocok dan mau beli, ya beli aja.”
Mommi memang istimewa, soal baju buat Galang aja diperhatikan dengan detail. Cuma ya itu, tak pernah protes dengan baju harian yang kugunakan. Aku sudah biasa pakai celana jeans dan kaos oblong. Rambut dikuncir kuda di belakang, kadang juga dibirkan tergerai yang kata Mommi sih seperti Mak Lampir. Kata Mommi juga, dia sudah capek nasehatin aku soal penampilan. Aku terlalu keras kepala.
Aku keluar dari kantor Mommi bareng Galang. Dia tuh ngekor terus dan nempel seperti perangko. Di mana ada aku, di situ ada Galang. Kecuali pas aku ke kamar mandi atau memang gak mau diganggu, tapi emang dia gak boleh jauh-jauh dariku.
“Kita ke butik buat beli gaun,” kataku sambil melirik ke arah Galang yang tengah nyetir.
Lelaki mantan anggota militer itu lumayan manis, walau tak bisa dibilang tampan. Dia selalu memakai celana kain, sepatu kets, dan kaos oblong. Aku emang nyuruh dia pakai itu sih, biar gak jauh beda sama penampilanku.
Bayangin aja kalo sampai kami jalan bareng, dia di belakang pakai celana kain, jas dan kacamata hitam. Diiih seperti mau diculik sama gembong mafia aja rasanya. Malesin karena jadi pusat perhatian orang-orang.
“Butiknya sebelah sana!” kataku sambil menunjuk ke arah sebuah butik.
Di tempat parkir, mobil terlihat berjejer dengan rapi. Sampai mataku tertuju pada mobil yang tak asing. Mobilnya Mas Hari.
“Kampret bener kalo ketemu sama lelaki itu di sini!”
=====
“Nisa?” Sebuah suara membuatku menoleh.
Mas Hari melihatku memandangi mobilnya, lalu memandangku dengan iba. Mungkin dia pikir aku masih mengenang pernikahan kami dulu. Pernikahan yang entah.
“Hai, Mas,” jawabku agak gugup. Duh, dadaku berdugup dengan kencang hanya dengan melihatnya.
“Kamu ngapain di sini? Yuk cepat ke dalam. Sudah ditunggu lho!” ucap Dewi yang tiba-tiba ada di antara kami. Seolah menyelamatkanku dari tatapan elang Mas Hari.
Tiba-tiba wanita itu terdiam di tempatnya, memandangku. Eh, sepertinya tidak. Dia melihat ke arah Galang beberapa detik dengan raut wajah yang tak bisa kuartikan. Aku pun melihat ke arah Galang, lelaki dingin yang tak pernah tersenyum itu tiba-tiba saja tersenyum dengan manisnya.
Wah, gila! Bodyguard satu ini kalau tersenyum bisa bikin gula meleleh. Minum kopi tanpa gula pun tak akan terasa. Atau malah bikin wanita-wanita kena diabetes.
“Yuk, Mas! Kita ke dalam,” kataku tiba-tiba sambil menggandeng lengan Galang yang dari tadi tersenyum di belakangku. Seperti sepasang kekasih.
Wajah Galang kembali datar, lalu menjajari langkahku menuju ke dalam butik. Kuperhatikan dua pasang mata di tempat parkir itu memperhatikan kami.
“Kamu kenal dia?” tanyaku cepat.
“Masa lalu.”
“Oh.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. “Btw, kamu tau kalo Dewi itu calon istrinya Mas Hari?”
Tiba-tiba langkah Galang terhenti, lalu memandangku dengan tajam.
“Hm? Kamu belum tau? Kita ke sini buat beli baju untuk acara penetapan tanggal pertunangan mereka nanti di Gold Hotel,” kataku sambil menunggu reaksinya.
Tangan Galang langsung mengepal mendengar ucapanku. Sampai otot-otot terlihat dari kulitnya. Bravo! Ternyata pernah ada cinta antara Dewi dan Galang. Hm, bisa jadi malah sampai saat ini mereka masih saling cinta.
Aku menggandeng Galang untuk terus berjalan, melewati lantai satu, menuju lantai dua. Di butik itu, lantai satu digunakan untuk stok gaun-gaun dengan kualitas standar. Sementara di lantai dua untuk gaun dengan kualitas istimewa. Aku sering mengantar Mommi ke tempat-tempat yang sering dia kunjungi. Jadi, aku hafal tempat-tempat yang memang menjual barang kualitas.
“Selamat siang, Kak,” sapa seorang pramuniaga.
“Siang. Aku mau dilayani sama manajernya langsung. Bisa?”
Pramuniaga itu pun tersenyum, “Silakan ditunggu, Kak.”
Tak berapa lama, seorang wanita berpakaian modis datang menghampiri. Ada senyum yang tersungging di bibirnya saat melihatku.
“Siang, Mbak Nisa. Tumben sendirian, momminya tidak ikut?” tanya wanita paruh baya yang memang sering melayani Mommi.
“Aku ke sini sama dia. Ada koleksi terbaru yang cocok buat aku?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku tak ingin berlama-lama di tempat ini.
“Bisa pilihkan baju buat dia?” kataku pada pramuniaga yang dari tadi melihat ke arah kami.
Pramuniaga itu mengangguk, lalu meminta Galang untuk mengikutinya. Sementara aku diajak sang manajer untuk ke ruangan khusus yang berisi koleksi-koleksi limited edition butik ini.
Wanita yang udah lama menjabat sebagai manajer itu pun langsung mengambil beberapa gaun. Dilihatnya gaun-gaun itu sambil melihat ke arah tubuhku.
“Coba dilihat ini, Mbak. Nanti kalau ukurannya kurang besar atau kurang kecil, akan dibuatkan lagi,” katanya sambil memberikan beberapa gaun.
Aku pergi ke ruang ganti, lalu mencobanya satu per satu. Memang benar kata Mommi, butik ini istimewa. Gaun yang dibuatnya pun tidak pasaran dan sangat pas di tubuh. Manajernya memilihkan gaun yang sesuai.
“Mbak, aku mau yang model terbaru. Paling baru. Kalau bisa, desain yang belum dikeluarkan di toko ini.”
=====
Part Sebelumnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-5/
Part Selanjutnya : https://novel.anisae.com/pura-pura-mlarat-part-7/