Jalan ini masih panjang, begitu yang selalu Nisa tekankan di hatinya. Masih ada cobaan dan jalan lain yang harus dilalui. Entah itu jalan yang menanjak, menurun, bahkan datar saja. Namun, banyaknya jalan terjal yang dilalui membuatnya tahan banting. Dia masih belum bisa ikhlas menerima apa yang harus dijalani saat ini, tapi itu semua demi kebahagiaan Gus Azzam. Lelaki yang dicintainya dari dulu.
Nisa menarik napas panjang, mengisi rongga dada dengan udara sebanyak-banyaknya. Agar udara-udara itu bisa mengangkat segala resah dan gundah yang mulai meraja, membawa rasa itu pergi seiring dengan karbondioksida yang keluar lewat hidungnya.
Wanita itu percaya bahwa hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang juga di bawah. Namun, dia masih tak mengerti kapan roda hidupnya akan berada di atas. Dia hanya percaya.
Langkahnya pelan menyusuri trotoar, sesekali menoleh ke belakang, berharap tiba-tiba saja suaminya di belakangnya, menjemput dengan cinta. Berharap? Entahlah, dia sendiri tak tahu bagaimana dengan isi hatinya. Cinta itu melekat, begitu kuat. Ingin pergi, tapi juga ingin kembali. Sekali lagi dia menarik napas panjang, entah sudah berapa kilometer jaraknya dari pesantren setelah naik dua angkot untuk sampai ke stasiun.
Dipegangnya tiket kereta erat-erat, tinggal naik satu angkot lagi, maka dia sudah sampai di stasiun. Memang pesantren ke stasiun lumayan jauh, harus naik tiga angkot untuk sampai ke sana.
“Mbak woi! Lain kali liat-liat kalo jalan! Matanya dipake!” Nisa terkejut dengan sapaan kasar lelaki yang tiba-tiba sudah ada di depannya.
“Maaf, maaf,” ucap Nisa pelan sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadanya.
“Maaf-maaf! Untung aja rem motorku cakram!”
Sekali lagi wanita itu meminta maaf, memang kecerobohannya sampai tak melihat jika kini sudah berada di tikungan jalan yang ramai kendaraan. Dia menoleh ke kiri dan kanan, tidak ingin melakukan kecerobohan yang sama.
Namun, apa yang diharapkan jauh dari realita. Tiba-tiba saja ada motor dengan kecepatan penuh menuju ke arah Nisa. Wanita itu tak sempat menghindar, hingga tubuhnya terpental beberapa meter, lalu dia kehilangan kesadaran.
Darah tercecer di mana-mana, bunyi bel kendaraan pun mulai bersahut-sahutan. Banyak orang berlari mendekat, mereka segera membopong Nisa serta pengendara motor yang tubuhnya juga terpental dan tak sadarkan diri, langsung membawa keduanya ke rumah sakit terdekat.
“Kok bisa ngebut gitu sih?”
“Namanya juga anak muda. Itu aja masih pakai seragam sekolah.”
“Ya Allah, kok sampai segitunya,” ujar seorang warga yang melihat kejadian tersebut.
“Zaman e wis edan. Arek cilik kok yo oleh nggowo sepeda motor? Ngunu iku mesti lek gurung due SIM! Sing salah wong tuane ngene iki.”
💐💐💐💐
Nisa membuka matanya perlahan, kepalanya terasa sangat berat. Beberapa bagian tubuhnya pun terasa sakit dan perih. Sepertinya dunia ini masih belum berpihak padanya. Masih saja ada penderitaan yang harus dilalui.
“Anda sudah sadar?” sapa seorang lelaki dengan baju khas seorang dokter yang duduk di samping pembaringan.
Nisa memandang lelaki itu dengan mata memicing, lalu memegang kepalanya lagi yang terasa semakin berat.
“Anda istirahat saja. Jangan banyak bergerak.”
Nisa diam, bibirnya kelu. Sungguh tak ingin terdampar di tempat yang tak dikenali seperti ini.
“Saya Dokter Huda, yang menangani Anda. Besok pagi kita lakukan CT scan seluruh tubuh untuk melihat bagaimana kondisi tubuh Anda.”
Nisa memandang Dokter Huda yang tersenyum manis. Lelaki tampan dengan kulit putih bersih. Hidungnya yang mancung serta alis tebal menambah ketampanannya.
“Saya sudah resepkan beberapa obat. Nanti setelah makan, Anda bisa minum obatnya. Selain itu juga ada beberapa obat yang akan disuntikkan melalui infus.”
Lagi-lagi Nisa diam, tak tahu harus menjawab apa. Sampai Dokter Huda pergi dari kamar rawat tersebut. Wanita itu memejamkan mata, lalu tertidur lagi karena terlalu lelah dan efek obat yang masuk ke dalam tubuhnya.
💐💐💐💐
Bau obat-obatan menusuk hidung. Dokter melakukan visit bersama beberapa perawat, membangunkan Nisa yang tengah terlelap. Beberapa perawat mengangguk, lalu mencatat. Perawat yang lain mempersiapkan obat yang akan dimasukkan ke dalam selang infus dari tangannya.
Entah sudah berapa lama dia tak mengunjungi rumah sakit, apalagi sampai diinfus seperti ini. Terakhir kali saat mengantar ibunya untuk berobat. Wanita itu merasa sendiri dan kesepian. Jelas dia tidak berada di kamar kelas tiga. Melihat tatanan kamar dan fasilitas yang didapatkan, pasti kelas satu.
Angin menggerakkan gorden yang menutupi jendela. Dilihatnya langit yang berwarna biru terang, dirinya seperti berada di atas awan. Sepi. Tak ada yang menemani karena memang tak ada yang tahu apa yang terjadi pada Nisa. Dilihatnya baju berwarna biru yang menutupi tubuhnya, gamisnya telah berganti. Tak ada cadar yang kini menutupi, tak ada kerudung karena kepalanya dibalut perban tebal.
Nisa melihat lengan tangan kanannya yang terasa nyeri. Lengan itu sudah dibalut perban, tapi rasanya tetap sakit. Matanya memerah, ada keinginan untk menangis, tapi tak mungkin menangis di sini. Apalagi dia bukan wanita cengeng yang akan gampang menangis. Dia cukup tangguh.
“Bagaimana keadaan Anda? Baik?” tanya Dokter Huda sambil tersenyum setelah para perawat pergi.
Nisa mengangguk pelan, “Saya di mana?”
“Di Rumah Sakit Ero Husada. Apa ada keluarga yang bisa dihubungi?”
Nisa menatap Dokter Huda dengan pandangan kosong, “Bisa ambilkan kerudung di dalam tas saya? Di mana tas saya?”
“Oh, iya. Akan saya ambilkan.” Dokter Huda segera berjalan ke arah lemari kecil di pojok ruangan. Membuka, lalu mengambil kerudung yang ada di sana. “Maaf, Anda bisa pakai ini dulu. Saat dibawa ke sini, tak ada tas yang memuat identitas Anda atau yang lainnya ”
“Apa yang terjadi?” tanya Nisa setelah memakai kerudungnya.
“Hanya kecelakaan kecil. Anda tertabrak motor. Bukan masalah besar, tenang saja. Tapi karena di kepala dan beberapa tubuh ada pendarahan, kami menghentikan pendarahan dulu.” Dokter Huda memandang pasien di depannya dengan sedih. “Hm, apa ada keluarga yang bisa dihubungi?”
Nisa menggeleng pelan. Kini dia mendapatkan resiko dari keputusannya keluar pesantren. Menelepon Gus Azzam? Jelas tak mungkin. Bukankah dia berkata bahwa akan pergi? Pasti akan merepotkan jika lelaki itu datang ke tempat ini.
“Tidak ada saudara sama sekali?” tanya Dokter Huda sekali lagi.
Nisa menggeleng lebih keras, memastikan bahwa dokter itu melihatnya.
“Ah, maafkan saya. Maafkan kecerobohan adik saya. Jika bukan karena dia, mungkin Anda tak ada di sini,” ucap Dokter Huda dengan sayu. Tak ada keinginan sama sekali untuk menutupi kesalahan saudaranya.
“Adik Anda yang menabrak saya?”
Dokter Huda mengangguk pelan, “Dia dirawat di kamar sebelah. Tidak terlalu parah, besok sudah boleh pulang.”
“Saya kapan boleh pulang?”
“Setelah saya pastikan bahwa Anda baik-baik saja.”
“Saya sedang tidak baik-baik saja. Saya akan pulang ke mana jika tak ada tempat untuk kembali? Tas hilang dan tidak ada uang sama sekali, bahkan tanda pengenal pun tidak ada. Apa masih ada orang yang mau menerima saya bekerja? Apalagi dengan kondisi seperti ini,” ucap Nisa pelan dengan mata menerawang.
“Tenanglah. Kami akan menanggung semua biaya rumah sakit dan biaya hidup Anda sampai Anda benar-benar sembuh,” ucap Dokter Huda diliputi rasa bersalah.
Nisa memicingkan mata, berharap pendengarannya tidak salah. Namun, lelaki masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.
“Saya akan memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan Anda,” ucap Dokter Huda sebelum akhirnya pergi.
💐💐💐💐
3 Comments. Leave new
Love this story 😍😍😍
Di tunggu selanjutnya thor 💪😊
Semoga azzam bisa menemukan nisa ya thor
Semoga dokter huda berbaik hati sampai mengobati nisa n operasi plastik.
Dan stelah itu semoga gus azzam segera menemukan nisa.
Ke bawa alur nih jadiny.