Masih gerimis saat dua sejoli itu mengemasi barang yang akan dibawa ke pesantren. Tidak semuanya, tapi hanya beberapa pakaian dan kerudung yang nantinya akan dipakai Nisa. Gus Azzam membantu mengemasi beberapa kue yang sudah dibuat sang istri beberapa jam lalu.
“Eits, itu kuenya jangan dimakan lho,” kata Nisa sambil melirik.
“Iya-iya, untuk mertua, kan?” Gus Azzam tersenyum saat melihat senyum yang terukir di bibir Nisa.
Kue dan semua masakan buatan Nisa memang luar biasa, mengalahkan berbagai menu restoran yang pernah dikunjungi oleh Gus Azzam. Bisa jadi karena Nisa membuatnya dengan penuh cinta, rasa itu ikut tercecap oleh lidahnya. Membuat masakannya luar biasa.
“Apa Bu Nyai dan Pak Kyai bisa nerima aku?” tanya Nisa dengan pandangan menerawang.
“Kenapa tidak bisa? Kamu adlaah wanita terbaik yang meluluhkan hatiku.”
“Huh, dasar gombal!”
“Kamu cantik, baik hati, pintar masak. Pasti Umi akan suka sama kamu.”
Nisa menarik napas panjang untuk menetralkan degup jantungnya yang tak seperti biasanya.
“Grogi?”
Nisa mengangguk saat mendengar pertanyaan itu. Tidak hanya grogi, segala yang ada di hati tak bisa dikatakan oleh lisannya. Apalagi memang dia adalah menantu yang tak diharapkan. Bukan tidak mungkin jika dirinya akan mendapatkan sesuatu yang lebih buruk.
“Cadarnya dibawa aja. Apa perlu beli cadar lagi untuk di rumah?”
Nisa mengangguk, cadar yang dibelinya hanya satu. Tidak pernah terpikir bahwa nantinya harus memakai cadar di lingkungan yang baru.
Gus Azzam mendekat, dipeluknya sang istri dari belakang. Dagunya ditempelkan pada pundak Nisa. “Sayang … kamu pasti bisa meluluhkan hati Abah dan Umi. Tak hanya itu, kamu juga bisa beradaptasi dengan baik.”
Nisa menarik napas lagi, lalu mengangguk pelan. Yakin bahwa jalan inilah yang memang telah dia pilih. Apa pun yang terjadi nanti, itu adalah risiko atas pilihan yang telah dipilihnya.
Bukan tidak tahu, Gus Azzam sangat tahu bagaimana perasaan Nisa jika harus bertemu lagi dengan Abah dan Umi. Dia telah berjanji akan menjaga wanita itu agar tak menangis lagi, tak menerima perlakuan buruk untuk yang kesekian kali.
Menemukan Nisa adalah hal yang sangat diinginkannya selama belasan tahun, tak mungkin jika akan ditinggalkan begitu saja jika Abah dan Umi tidak setuju. Sudah kewajibannya sebagai suami untuk memberikan yang terbaik.
ππππ
Jumat pagi, saat para santriwati membersihkan pesantren, saat itulah taksi online yang dinaiki Gus Azzam dan Nisa sampai di depan pesantren. Lelaki itu sengaja mengajak datang di pagi hari agar bisa lebih lama berada di pesantren. Selain itu, akan ada banyak waktu agar para santriwati mengenal ning baru mereka.
Nisa mengenakan gamis berwarna merah muda, kerudung dan cadar pun berwarna sama. Tak ada yang diperlihatkan wanita itu selain kedua mata dan sedikit kulit yang terlihat di sekitar mata. Kaus kaki menutup kakinya dengan sempurna, sehingga tidak terlihat kulitnya. Hanya kulit tangannya yang halus, menunjukkan bahwa wanita itu sebenarnya sangat cantik.
Gus Azzam berjalan terlebih dahulu ke halaman pesantren dengan menundukkan pandangannya, beberapa tas berada di kedua tangannya. Langkahnya menuju pintu samping ndalem. Sementara Nisa hanya mengikuti di belakangnya dengan langkah pelan dan terlihat anggun. Disapanya para santriwati dengan mengucapkan salam dan menganggukkan kepalanya.
Melihat kedatangan dua orang yang sudah menjadi bahan pembicaraan beberapa hari ini, membuat para santriwati menghentikan kegiatan mereka. Tak ada yang mereka lakukan selain memandang sosok baru yang mulai memasuki ndalem. Walau memakai cadar, mereka tahu bahwa wanita itu bukan Ning Miftah yang selamaΒ mereka kagumi tidak seperti itu.
“Assalamualaikum,” ucap Gus Azzam ketika memasuki ndalem. Diletakkannya barang-barang yang dibawa ke atas lantai. “Kamu duduk di sini dulu, ya? Aku cari Abah dan Umi dulu. Biasanya mereka ikut bersih-bersih.”
Nisa mengangguk, sebelum akhirnya Gus Azzam pergi keluar ndalem. Nisa pun ikut berdiri, tak enak rasanya berada di ndalem sendirian, sementara para santriwati membersihkan halaman pesantren yang cukup luas.
“Ada sapu lain, Mbak? Saya bantu nyapu,” ucap Nisa pelan dari balik cadarnya pada salah satu santriwati.
“Mboten usah, Ning. Njenengan ten ndalem mawon.”
Nisa beringsut pergi meninggalkan santriwati itu, kembali lagi ke dalam ndalem. Apalagi saat santriwati yang ditemuinya itu pergi dari halaman. Bahkan satu per satu santriwati yang tadinya banyak, sekarang hampir tak ada. Mereka segera menyelesaikan pekerjaan, lalu pergi dari halaman ke kamar masing-masing.
Nisa menarik napas panjang, apa akan sesulit ini jika bergabung dengan keluarga pesantren? Rasanya akan sangat berat berbaur dengan orang-orang yang memang tak pernah bisa dijangkau oleh wanita desa sepertinya.
“Niki Ning, diunjuk rumiyin.” Seorang santriwati membuyarkan lamunannya.
“Inggih, matur nuwun.” Nisa memandang santriwati yang juga abdi ndalem tersebut. Ternyata santriwati yang pertama kali ditemuinya. “Namamu siapa? Saya Nisa.”
“Kulo Asma. Monggo, Ning.” Asma segera berlalu saat dilihatnya Gus Azzam dan orang tuanya datang menuju ndalem.
Bu Nyai dan Pak Kyai langsung menuju samping halaman yang terdapat kran serta kolam, mereka mencuci kaki dan tangan di sana, sebelum memasuki rumah. Mushola tepat berada di depan pintu samping ndalem. Sebuah mushola tanpa dinding yang dikelilingi oleh kamar-kamar para santriwati. Di depan kamar-kamar itu juga terdapat pohon-pohon yang rindang.
“Assalamualaikum,” sapa Nisa terlebih dahulu saat melihat kedua mertuanya mulai memasuki ndalem.
“Waalaikum salam.” Ketiga orang yang akan memasuki ndalem pun menjawab salam.
“Sudah lama?” tanya Pak Kyai pelan dan berwibawa.
“Baru saja sampai,” jawab Nisa sambil mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan Pak Kyai.
Pak Kyai memberikan tangannya, sementara Bu Nyai langsung masuk ke dalam ruang tengah, tanpa mempedulikan kehadiran Nisa.
“Umi ….” Gus Azzam langsung menyusul wanita yang telah melahirkannya.
“Ada apa, Zam? Mana Miftah?” tanya Bu Nyai sambil memandang putranya dengan penuh selidik setelah duduk di kursi berwarna merah tua kesayangannya.
“Miftah tidak ingin kembali,” ucap Gus Azzam lemah setelah duduk di samping ibunya.
Bu Nyai menarik napas panjang, hancur sudah impiannya untuk mendapatkan menantu secantik dan sebaik Miftah. Sangat berbeda dengan Nisa. “Mungkin itu yang terbaik.”
“Umi tidak mau menemui Nisa?”
“Buat apa?”
“Nisa juga istri dari Azzam. Sama seperti Miftah.”
Bu Nyai membuang muka, segala kecewa berkumpul di dalam hatinya. Tak mudah menerima seseorang yang sama sekali tak dikenalnya. Apalagi wanita itu telah menggoyangkan ketentraman keluarganya, tidak hanya keluarga, tapi juga pesantren.
“Apa kamu tak tahu apa kata para masyarakat tentang pernikahanmu ini?” tanya Bu Nyai sendu.
“Maksud Umi bagaimana?”
“Para santri dan juga masyarakat sudah tahu dengan kedatangan Nisa. Bahkan mereka juga menyebarkan rumor tidak bagus di lingkungan ini.”
“Maksud Umi?”
“Apa kamu mau menjawab dengan jujur jika Umi bertanya padamu?”
Gus Azzam mengangguk dengan pasti. Semua masalah ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi dirinya sudah kehilangan Ning Miftah, sekarang dia tak ingin kehilangan Nisa hanya karena gosip yang tidak jelas.
“Apa Nisa sudah hamil sebelum kamu menikah dengan Miftah?”
πππππ
Selamat malam. Ada yang kangen?
Maafin lama banget updatenya. Kesibukan di dunia nyata benar-benar luar biasa.
1 Comment. Leave new
Yang part 17 dan selanjutnya ko ga bisa dibuka ya