Pak Kyai Ridho memegang keningnya yang mulai terasa pusing. Tak menyangka bahwa apa yang dulu telah direncanakan oleh dua sahabat saat di pesantren, kini balik menyerangnya. Dulu, saat masih menjadi santri, ia dan ayah dari Azzam, Fitri, merencanakan pernikahan itu.
“Janji, ya? Nanti anak kita yang bakalan nikah!” kata Ridho sambil memperlihatkan deretan gigi yang putih.
“Iya, janji. Eh, tapi kalo anak kita jenis kelaminnya beda, ya? Kalo enggak, ya gak jadi. Hahaha.” Fitri menanggapi dengan tertawa.
Mereka berdua berjabat tangan, mengikat janji masa depan. Tujuannya hanya untuk agar persaudaraan yang mereka bangun bisa selamanya terjalin. Bahkan sampai tua nanti.
Setelah keduanya menikah, ternyata memang Allah mengabulkan. Mereka pun merencanakan mengirim anak-anak tersebut untuk belajar ke Kairo. Tujuannya juga agar Azzam dan Miftah menjadi dekat, mereka saling kenal dan nantinya tidak merasa keberatan saat mendengar perjodohan tersebut.
“Miftah, apa yang kamu inginkan sekarang?” tanya Bu Nyai sendu pada putrinya.
“Miftah ingin berpisah dengan Gus Azzam, Um.” Hela napas terdengar setelah kalimat itu terucap.
“Apa tidak dipikirkan lagi? Bukankah poligami itu diperbolehkan dalam Islam?” tanya Pak Kyai.
“Mboten Abi. Insyaallah ini yang terbaik untuk masa depan Miftah.”
“Tapi, saya tidak ingin menceraikan kamu, Ning,” sela Gus Azzam sambil menggenggam tangan istrinya.
“Maafkan saya, Gus. Saya belum bisa berbagi suami dengan wanita lain.”
“Saya akan berusaha adil untuk kalian berdua. Tak akan ada yang merasa tersakiti.”
“Tidak tersakiti? Gus, njenengan kok egois ngoten? Pertama saat menikahi Nisa, njenengan mboten sanjang nopo-nopo. Kamu tutup mata pada air mata yang menetes satu per satu dan membasahi jilbabku. Kamu tutup mata pada segala hinaan dari Nisa yang tak ingin menjadi istri kedua. Kamu juga tak pernah mau tahu tentang masa depan pernikahan kita.” Ning Miftah menarik napas panjang sebelum akhirnya meneruskan, “Ini sudah tak adil untuk kami, istri-istrimu.”
Gus Azzam mengacak rambutnya frustrasi. Sebenarnya seperti ini yang dia inginkan, berpisah dengan istrinya. Itulah yang membuatnya tak pernah menyentuh wanita itu, agar tak ada rasa penyesalan jika mereka akhirnya menikah. Apalagi jika sampai tiba-tiba Ning Miftah hamil, pasti akan terasa berat untuk berpisah.
Memang awalnya tak ada rasa pada istrinya itu, tapi saat melihat Ning Miftah pergi dengan Kang Santri, ada yang mencubit hatinya, sakit. Beberapa hari memikirkan bagaimana hubungan keduanya nanti, sampai akhirnya memutuskan untuk mempertahankan pernikahan itu.
“Egois, mungkin saya memang egois. Beri saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Ning.”
“Kesempatan? Bahkan banyak kesempatan yang sudah saya berikan. Kamu yang mengabaikan semuanya. Kamu yang tak pernah berusaha untuk mencintai saya. Di hatimu hanya ada Nisa, Nisa, dan Nisa. Tak pernah ada nama Miftah.” Ning Miftah mengusap air mata yang mulai jatuh.
Gus Azzam terdiam, entah kali ini akan berucap apa.
“Apa orang tuamu sudah tahu tentang hal ini?” tanya Pak Kyai pada Gus Azzam.
“Baru kemarin, Bi.”
“Lantas kamu diminta menjemput Miftah?”
“Nggeh, Bi.”
“Miftah, keputusan sekarang ada di tanganmu. Pernikahan ini kalian yang menjalankan. Apa pun yang kamu putuskan, Abi dan Umi pasti akan mendukungnya. Abi juga akan berbicara dengan Fitri, walau persahabatan kami nantinya tak bisa seperti dulu,” ujar Pak Kyai sambil memandang putrinya. “Abi sama Umi ke dalam dulu. Selesaikan masalah kalian.”
Kedua orang tua Ning Miftah pergi ke ruang tenah. Tak berapa lama, terdengar bel berbunyi, menandakan madrasah diniyah sudah waktunya dimulai. Namun, sepasang suami istri di ruang tamu itu belum mengatakan sesuatu, masih merangkai kata yang akan dikeluarkan dari bibir.
“Ning, apa tidak ada kesempatan lagi untuk saya?” Gus Azzam memegang tangan istrinya lembut, ditatapnya Ning Miftah yang hanya menunduk.
“Maaf, Gus. Mboten wonten,” ucap Ning Miftah pelan.
“Demi Abi dan Umi?” tanya Gus Azzam mulai ragu.
“Jika memang demi Abi dan Umi, seharusnya Gus Azzam tidak menghadirkan Nisa di antara kita. Seharusnya Gus Azzam menerima saya dan kita menjalani pernikahan ini dengan baik.”
“Saya khilaf, Ning.”
“Mungkin benar kata Nisa, saya terlalu cinta sampai mau saja diplekoto oleh njenengan, Gus.”
“Kita mulai dari awal, Ning.”
“Sekarang saya tanya sama Gus Azzam. Kita akan memulai dari awal, tapi siapa yang sudah mendapatkan nafkah lahir batin yang pertama? Bukan saya, kan? Padahal saya istri pertama.” Lagi-lagi Ning Miftah mengusap air mata yang jatuh. Sakit yang didera hatinya saat membayangkan bahwa dia bukan wanita pertama yang mendapatkan malam pertama suaminya. Bukan dia. “Jawab, Gus!”
Gus Azzam diam, bibirnya terkunci rapat. Tak ingin membahas tentang malam pertama, tapi tuntutan istrinya membuatnya berpikir berpuluh kali lipat. Mengatakan bahwa Nisa adalah yang pertama, jelas menyakiti hati istrinya. Namun, jika berbohong, bukankah suatu saat akan tercium juga bangkainya?
“Bukankah Rasulullah ﷺ menekankan bahwa,
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ(وفى رواية لمسلم: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ) حَتَّى يَكُوْنَ صِدِّيْقًا. وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُوْرِ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ(وفى رواية لمسلم: وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ) حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّاباً. رواه البخاري ومسلم
“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur karena kejujuran membawa kepada kebaikan dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga dan apabila seseorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai Pendusta alias pembohong.” (HR. Bukhari).
Maka, untuk apa Gus Azzam berbohong pada Miftah?” ucap Ning Miftah saat menyadari suaminya tak mampu menjawab apa pun. “Suatu pernikahan tak boleh didasari dengan kebohongan. Jika dulu dasar pernikahan kita salah, maka akhiri sampai di sini saja. Toh masih belum terlambat untuk mengubah semuanya.”
“Maafkan saya, Ning.” Akhirnya sebuah jawaban terucap. Sebenarnya hati Gus Azzam tak terima, tapi apa mau dikata? Ning Miftah sudah mengambil keputusan dan dia hanya bisa meminta maaf atas segala yang telah dilakukannya. Menyakiti wanita yang tak pernah lelah mendukungnya.
“Saya sudah memaafkan, walau belum bisa mengikhlaskan dan menghilangkan rasa kecewa di hati. Semoga Gus Azzam bahagia dengan Nisa.” Ning Miftah menatap suaminya yang tengah menunduk. “Gus, apa pun yang terjadi, kita tetap sahabat. Nanti biar saya yang mengurus perceraian karena akan dipermudah oleh pihak pengadilan jika yang perempuan mengajukan. Tinggal Gus Azzam menyetujui, jangan dibuat sulit.”
Gus Azzam mendongak, ucapan Ning Miftah menohok hatinya. Suami seperti apa dia yang hanya bisa menyakiti wanita secantik Ning Miftah? Membuat air mata wanita itu tak berhenti menetes karena keegoisan yang dia pertahankan. Matanya nanar menatap sang istri yang kini tersenyum.
“Sebelumnya, untuk yang pertama dan terakhir. Tolong cium kening saya dan peluk saya, hal yang tak pernah Gus Azzam lakukan.”
Gus Azzam mengangguk, lalu dengan pelan, diciumnya kening Ning Miftah pelan. Seperti ada magnet tak kasat mata yang membuat tangan lelaki itu memeluk sang istri dengan cepat. Jantungnya pun bertalu-talu dengan cepat, apalagi dengan hidung yang bisa mencium harum rambut istrinya yang berada di balik kerudung. Rasa itu, tak ingin dilepaskannya begitu saja. Gus Azzam memejamkan mata, meyakinkan hatinya lagi.
💐💐💐💐💐
Cerai beneran ya? Gus Azzam sih plin-plan banget jadi cowok. Pilih satu aja napa sih? 🤭