Jam 12 tepat, mobil pink cerah milik Natasha sudah menunggu di alun-alun. Andim pun segera naik ke mobil itu karena Natasha sudah memberikan kode dengan menyuarakan klakson berkali-kali. Di dalam mobil ternyata sudah ada juga tiga temannya, Selly, Aura, dan Agnes.
Mereka terlihat dewasa dengan baju yang sangat terbuka. Ditambah dengan topeng yang memang sengaja mereka kenakan untuk menutupi sebagian wajah. Sangat berbeda dengan Andin yang lebih ke ‘menutup tubuh’ dengan baju yang sudah robek di bagian pundak.
Di dalam perjalanan, Andin tak banyak bersuara. Natasha hanya berbincang dengan teman-temannya saja. Tak jarang mereka tertawa lepas sambil memonyongkan bibir.
“Gue harap teman kencan kita nanti bisa bikin hobi belanja gue jadi makin kenceng,” Selly mengungkapkan impiannya dengan senyum menggoda.
“Sama suami orang, mau lu?” tanya Aura.
“Dia mah siapa aja oke, asal bisa bayarin barang branded yang dibelinya,” Agnes menjawab sambil tersenyum.
“Sirik aja sih kalian. Siapa pun yang kita temui nanti, aku harap dia tampan dan kaya. Lumayan kalau orang terpandang dan bisa dijadikan tebeng kalau kita kena masalah,” Natasha menengahi sambil tetap menyetir.
“Suami orang itu pasti udah pengalaman di ranjang. Gue mau bangetlah kalau dia bisa bawa gue sampe ke langit ke tujuh,” jawab Selly tak mau kalah.
“Gak pada lupa minum pil KB, kan?” Aura bertanya dengan nada cemas.
“Mungkin malah kamu yang gak minum. Yakin deh perawan seperti kamu itu bakal ketagihan kalo udah ngerasain itunya lelaki. Apalagi pas bisa keluar bareng, rasanya itu lho … hihihi. Bikin nambah lagi.” Agnes menanggapi dengan tertawa.
Ternyata malam ini, empat orang gadis di dalam mobil akan melakukan kencan buta. Mereka menargetkan anak pengusaha atau pengusaha muda yang kaya untuk membiayai hidup mereka. Kencan macam apa ini? Mungkin mereka tak jauh berbeda dengan Andin.
Sesampainya di parkiran lantai bawah, mereka berempat keluar, kecuali Natasha. Entah apa yang dilakukannya di dalam mobil.
“Aku di sini buat jagain Natasha, bukan jagain kalian. Jadi, kalian jaga diri sendiri!” kata Andin pada mereka.
Mereka terkejut dan saling bertatap muka.
“Tak akan terjadi apa-apa pada kami!” kata Agnes sinis.
Tangan Andin yang berencana mengeluarkan alat setrum yang sudah kubawa dari rumah pun batal. Fine. Mereka tidak butuh senjata seperti ini karena toh jika diberi, hanya akan ditertawakan oleh mereka.
“Jaket dan kacamatanya taruh mobil aja!” kata Natasha yang membuat Andin sadar bahwa masih menggunakan jaket dan kacamata.
Perlahan Andin membuka jaket dan kacamatanya, mata mereka tak lepas dari perbuatan Andin. Tanpa disadari, mulut mereka terbuka melihat penampilan Andin.
“Gila! Ini party kelas atas. Kok kamu macam gembel gitu?” kata Selly spontan.
Kontan mata Andin langsung menatap Selly dengan tajam, hingga akhirnya Selly menutup mulutnya dan berkata maaf. Tapi Aura, sang ratu mode itu malah tetap menatap Andin dengan takjub.
“Wow! Kamu bayar berapa buat make up itu?” katanya sambil menatap Andin tanpa berkedip.
Tak mempedulikan mereka, Andin langsung meletakkan jaket dan kacamata ke dalam mobil. Bodo amat nuruti omongan mereka. Pasti ujung-ujungnya juga bakal menghina.
Sepertinya Andin salah kostum.
================
Pintu terbuka, alunan musik yang berdentum membuat Andin terhenyak. Seperti inikah yang dinamakan club malam? Dengan tiket VIP yang dimiliki Natasha, mereka tak perlu kesulitan untuk masuk ke dalam. Mereka bertiga menari-nari mengikuti irama musik yang diputar dengan keras, kecuali Andin. Gerakan tubuh mengatakan bahwa saat ini mereka sedang bahagia. Gerakan meliuk dan menggoyangkan tubuh yang membuat siapa pun jadi menelan ludah.
“Gue suka banget ke sini, bikin bergairah,” teriak Selly di antara dentuman musik.
“Apalagi kalo ketemu cowok yang bikin klepek-klepek,” timpal Agnes.
Beberapa mata memandang mereka yang masuk beramai-ramai. Empat tuan putri yang bersama Andin memang layak untuk menjadi perhatian. Tapi … tidak. Mereka bukan melihat sang putri, tapi tatapan mereka tajam ke arah Andin. Seorang gadis dengan makeup di wajahnya, memakai baju yang sengaja disobek, celana jins, sepatu butut, dan tas ransel.
“Denger, ya! Pastikan kamu gak ngikutin dan jauh dari kami. Gue gak mau kamu ikut campur masalah kami saat di dalam nanti!” Natasha memperingatkan Andin.
“Minum apa?” tanya bartender yang terlihat tampan di balik meja bar. Kenapa hanya terlihat? Karena wajahnya tertutup dengan topeng.
“Air mineral ada?” tanya Andin sambil tersenyum.
Bartender itu ikut tersenyum, “Mau yang beralkohol rendah atau yang tanpa alkohol?”
“Saya tidak minum seperti itu.” Andin tetap tersenyum.
Bartender mengangguk, lalu memanggil temannya untuk menyiapkan air mineral yang diminta oleh Andin.
Andin tak akan bisa lepas dari air mineral. Lagipula tempat seperti ini mewajibkannya untuk lebih berhati-hati. Sengaja dia pilih kursi yang berada di lantai dua agar bisa leluasa memperhatikan Natasha yang asik berdansa dengan teman-temannya.
Mata mereka-para pengunjung club- masih menuju ke arah Andin, Andin tak tahu, mereka mencibir atau memuji. Tapi dari gerak bibir yang terlihat, mereka mencibir. Ya, bagaikan upik abu yang menemani para puteri ke dalam acara malam ini.
“Gak dansa juga?” tanya seseorang dengan penampilan vampir mendekati Andin. Ada jubah panjang yang menutup hampir seluruh punggungnya.
Andin hanya tersenyum tipis untuk menjawab pertanyaannya. Matanya tak lepas dari Natasha, tak mau kecolongan. Sebuah pertanyaan dari lelaki memang tak membutuhkan jawaban.
“Mau minum? Aku yang traktir!” tawar si manusia vampir sambil memperhatikan botol air mineral yang baru saja diberikan oleh bartender, lalu dengan cepat pindah pada tangan kanan Andin. Berpikir bahwa Andin tak akan mampu membeli minuman di sana.
“Aku sudah mempunyai minuman sendiri. Thank’s!” jawab Andin tanpa basa-basi sambil menggoyangkan botol air mineral yang tengah dia pegang, memastikan bahwa lelaki itu melihat botol yang memang dibelinya dari tempat itu.
Andin meneguk air mineral langsung dari botol, tanpa memakai sedotan, sampai isinya tinggal setengah. Tak dihiraukannya lelaki yang memandanginya dari tadi. Entah apa yang coba dia pastikan, yang jelas, dia tak akan mengenali wajah asli Andin karena make up yang diberikan Nata. Andin pun tak kenal siapa dia dengan make up pucat dan taring yang penuh darah itu.
Natasha terlihat tengah asik berdansa dengan seorang lelaki, Selly dan Agnes juga. Tapi, di mana Aura? Bukankah Aura bersama mereka?
Mata Andin mencari sosok gadis mungil, sang ratu mode. Tiap sudut ruangan dijelajahi secara detail. Tak terlewatkan satu pun, bagai elang yang mencari mangsanya. Bukan hal sulit untuk mencari seorang gadis mungil berpakaian keemasan dengan rambut keriting bawah. Ah, mungkin dia sedang ke kamar mandi, otak Andin tak mau diracuni hal lain. Sayangnya hati Andin berkata lain, sepertinya ada yang tidak beres.
“Mas, kamar kecilnya di mana, ya?” tanya Andin pada bartender yang tadi menawarinya minum.
“Turun aja, dipojokan itu belok kiri. Lurus, nanti ada tulisan toilet,” jawabnya sambil menunjukkan pojokan yang dia maksudkan.
Andin segera turun dengan tergesa, melewati beberapa pasangan yang berdansa dengan lagu disko. Tak dihiraukannya botol air mineral yang tertinggal di atas meja bar. Toh dia masih punya dua stok air mineral di ransel.
Langkah kakinya terhenti ketika sampai di dalam toilet. Di sana ada seorang wanita yang gemetar memegangi lututnya, duduk di atas lantai yang dingin. Segera Andin berlari menghampiri wanita tersebut, mengeluarkan air mineral dalam ransel, lalu membantunya untuk minum. Dia terlihat sangat ketakutan, air mineral itu tumpah mengenai bajunya.
“Apa yang terjadi?” tanya Andin khawatir padanya.
“Gu … gu … gueee liat beberapa cowok menarik paksa cewek berbaju keemasan. Pemilik tas itu …!” katanya tertahan sambil menuding tas hitam di atas westafel.
“Shit!” Andin mengumpat, itu tas hitam milik Aura, “Kau tahu ke mana mereka membawanya?”
“Seseorang berkata akan membawanya ke hotel dekat sini. Mungkin masih belum jauh, ada di parkiran bawah,” jawabnya pelan. Dia sudah mulai tenang.
Andin segera berlari keluar dari toilet, menuju parkiran tempat Natasha memarkir mobil tadi. Jika Aura dipaksa ikut mereka, pasti prosesnya cukup lama. Pemberontakan dari Aura ataupun kecurigaan security saat membawa Aura keluar ruangan.
Laju larinya semakin cepat. Andin tak ingin menyesal karena tak bisa menolong Aura. Walaupun Andin dibayar oleh Natasha, tapi dia tak bisa membiarkan perbuatan jahat ada di sekitarnya. Apalagi korbannya adalah Aura, teman satu kampusnya. Selama handphone belum berbunyi, maka Natasha aman bersama teman kencannya.
Bukan hal sulit menemukan mobil yang berisik. Empat orang lelaki mabuk berusaha memasukkan Aura ke dalam mobil Avanza. Andin melihat ada CCTV, tapi tak ada security yang standby di tempat parkir itu. Mungkin hal seperti ini terlihat biasa saja oleh para security tersebut atau CCTV sudah disabotase oleh mereka?
“Woy bangsat!” teriak Andin pada mereka.
Mereka serentak menoleh pada Andin.
“Wow, ada ikan emas di sini!” kata salah satu dari mereka yang disambut gelak tawa lainnya.
“Mau ikut kami pesta? Pasti kamu bakal puas deh! Hahaha!” ujar teman satunya yang memakai topeng serigala.
“Ih gak sudi! Itu temen gue! Gak akan gue biarin kalian bawa dia!” teriak Andin galak sambil menuding Aura yang telah dimasukkan ke dalam mobil.
“Bawa aja dia sekalian. Yang galak bisa lebih puas lho!” seringai lelaki yang sudah duduk di kursi pengemudi.
Seseorang yang memakai topeng serigala mulai mendekati Andin. Tanpa babibu, langsung saja Andin melayangkan tinju keras pada sang serigala. Terlihat dia memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah, semoga hidungnya patah.
“Hiaaat!” teriak Andin ketika sebuah tendangan dia arahkan ke arah perut lelaki berjaket biru. Ketika dia menunduk untuk memegangi perutnya, tinju Andin langsung mengarah ke hidungnya. Tanpa ampun, satu tendangan kaki kanan Andin mengarah pada selangkangannya.
Dua lelaki yang lain terkejut dengan respon Andin. Sepertinya mereka tak menyangka akan mendapat perlawanan seperti itu. Satu lelaki yang berada di samping Aura mulai mengeluarkan pisau dari sakunya. Kilatannya membuat Andin yakin bahwa pisau itu memang dipersiapkan untuk hal-hal seperti ini.
Cih, beraninya pakai pisau. Dipikir aku tak membawa senjata juga? Segera Andin mengeluarkan pengejut listrik dari dalam ransel. Untung dia membawa alat itu. Segera Andin maju, tak ingin berlama-lama menyelesaikan hal seperti ini. Dengan sekali gerakan, lelaki itu sudah pingsan.
“Wow, sepertinya aku salah memperhitungkan kamu!” Lelaki yang ada di belakang kemudi mulai turun dari mobil. Sepertinya dia adalah ketua dari para bajingan ini.
Andin mulai menyiapkan kuda-kuda, kurang satu orang lagi untuk dilumpuhkan. Segera Andin melayangkan tendangan kaki kanan ke arah perut lelaki itu, tapi dia dengan cepat menangkap kaki Andin dan memeluntirnya ke kanan. Terasa sakit, namun masih bisa diimbangi dengan tendangan kaki kiri Andin yang dengan keras mengarah ke tubuhnya. Tubuh mereka sama-sama terlempar ke belakang.
Kali ini musuh Andin bukan orang sembarangan, dia juga bisa beladiri. Andin salah perhitungan. Lelaki itu masih punya tenaga 100%, sedangkan tenaga Andin sudah terpakai untuk melawan beberapa orang tadi.
Apa yang harus kulakukan? Kabur jelas tak mungkin. Memanggil security? Iya kalau ada yang datang. Bantuan? Darimana coba? Batin Andin berkecamuk, keringat sudah membasahi dahinya. Tak mungkin kutinggalkan Aura sendirian di sini. Apa yang harus kulakukan?
“Wow, dengan tenaga setengah, kamu masih bisa melawanku!” kata lelaki itu dengan masih menunjukkan seringainya.
Napas Andin memburu. Aku harus bisa mengulur waktu, setidaknya sampai ada seseorang yang datang ke tempat ini. Atau membuat tenaganya berkurang lebih banyak.
“Aku bisa saja berbaik hati dengan membawamu ke dalam mobil dan kita bersenang-senang, tapi bagaimana dengan teman-temanku?” katanya dengan pandangan kejam pada Andin sambil memperhatikan teman-temannya yang masih tergeletak kesakitan di lantai.
“Oh, mau negosiasi?” tanya Andin dengan otak yang mulai bekerja.
“Hm, sebenarnya iya. Tapi aku gak yakin kamu akan mau! Lagipula aku bisa mengalahkanmu dan mendapatkanmu dengan mudah! Hahaha!” tawanya membahana di area parkir.
Bahkan suara tawa sebesar itu tidak ada yang mendengar? Apa-apaan ini? Apa memang di tempat parkir ini ada kongkalikong dengan para security?
“Wih wih, mau cari bantuan ya? Kasihan sekali …. Kamu pikir aku tidak mengatur semuanya dengan matang? Sayangnya aku gak tau kalo Aura punya temen macam kamu!” ejeknya sinis.
Andin menelan ludah. Gila. Benar saja tidak akan ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka berdua.
“Banyak bacot!” teriak Andin sambil menyerang wajah lelaki dengan gunting yang dia bawa. Sengaja Andin mengulur waktu agar tenaga bisa pulih dan mengambil gunting itu.
Serangan Andin dapat ditangkisnya. Segera dia menyerang perut Andin. Dengan gaya lentur, Andin memundurkan tubuh sambil mengayunkan gunting tersebut. Tepat menggores pipinya yang putih sampai berdarah
“Shit!” Dia berteriak sambil memegang pipinya.
Andin siaga, siap menerima serangan darinya.
“John! Apa yang kau lakukan!?” teriak seseorang dari kejauhan.
Dia berlari mendekati mereka, terlihat wajah tampannya yang dua tahun lalu memenuhi pikiran Andin. Dimas, senior yang jago sepak bola dan menjadi incaran semua gadis di kampus. Tak terbayangkan mengapa dia ada di sini sekarang.
“Di mana Aura?” tanyanya cepat ketika sudah sampai di samping Andin.
“Aura diculik dan sekarang ada di mobil itu, Kak!” jawab Andin sambil menunjuk mobil yang ditumpangi Aura.
Plok plok plok
Lelaki yang dipanggil John itu menepuk tangannya. Terlihat dia tersenyum dengan sederetan gigi yang putih. Teman-temannya juga sudah mulai bangun, berjalan mendekati John.
“Apa yang kau lakukan pada Aura? Bajingan!!”
“Gak ada kok. Kami hanya akan sedikit bersenang-senang, sayangnya tikus got ini mengganggu!”
Bajingan dia menyebut Andin tikus got. Padahal dia malah lebih buruk dari Andin. Penculik dan juga pemerkosa.
“Bawa Aura ke mobilku! Sekarang!!!” teriak Dimas mengagetkan Andin.
Cukup cepat, John dan kawanannya memindahkan Aura. Lalu mereka dengan cepat pergi meninggalkan mereka bertiga di parkiran sendiri.
Sebenarnya siapa Dimas dan John ini? Apa hubungan mereka dengan Aura? Benak Andin bertanya.
“Kau siapa?” tanya Dimas pada Andin.
“Andini,” jawab Andin singkat sambil menata detak jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Dengar, Ndin! Jangan pernah ceritakan kejadian ini pada siapa pun. Nyawaku yang jadi taruhannya!”
“Siap, Kak!” jawab Andin seformal mungkin.
“Kalau teman-temannya tanya, kamu bilang Aura sudah pulang. Mengerti? Anggap saja ini tak pernah terjadi.”
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Andin hanya bisa mengangguk.Tak lama, Dimas mengemudikan mobil, menjalankan mobilnya pelan menjauhi area parkir. Tiba-tiba netra Andin menangkap seseorang berpakaian vampir sedang menatapnya. Dia berdiri bersandar pada dinding, menggerakkan air mineral di tangannya saat menyadari Andin tengah menatapnya. Itu adalah air mineral milik Andin yang tadi tertinggal di meja bar.
Brengsek! Kenapa dia malah menjadi penonton dari tadi? Bukannya membantuku melawan para bajingan tadi. Andin geram.
“Oke juga kamu!” katanya yang masih bisa terdengar dari kejauhan.
“Brengsek kamu!” kata Andin sambil mengambil botol air mineral dari tangannya setelah mereka dekat.
Dia tersenyum, terlihat semakin mengerikan dengan menampakkan taringnya yang panjang. Lebih tepat disebut menyeringai.
Andin berjalan cepat melewatinya, tapi dia menghentikan langkah Andin lebih cepat. Menarik tangan Andin sehingga tubuh mereka berdempetan. “Setidaknya, aku tidak sebrengsek mereka,” bisiknya di telinga Andin.
Mata Andin mendelik tajam, tapi dia malah tertawa, memperlihatkan taring palsu yang dipakainya. Benar-benar orang yang menjengkelkan.
Sebuah nada dering terdengar dari saku celana lelaki itu.
“Halo? Ya? Oke! Aku ke sana sekarang!” kata lelaki setelah mengangkat telepon dari seseorang. Singkat, padat, dan jelas. Namun tidak melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Andin.
“Sepertinya aku harus mencari tahu sendiri siapa kamu sebenarnya, tapi nanti, ya? Aku ada perlu,” bisiknya tepat di telinga kiri Andin.
Andin dapat mencium aroma mulut beserta wangi dari tubuhnya. Sepertinya tak asing bagi hidungku, tapi di mana? Apa aku pernah mengenalnya? Apa dia memang ingin membuatku penasaran? Atau??
Dia pergi, meninggalkan Andin di tempat parkir sendirian yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Menerka-nerka tentang lelaki itu dan kejadian beberapa saat yang lalu. Benar-benar membuat otak Andin lelah. Air mineral yang dia rebut dari Mr. Vampir tadi langsung diteguk sampai habis untuk menenangkan diri dan menjernihkan otaknya lagi.