Andin melangkahkan kakinya di trotoar, pelan, seolah menikmati tiap langkahnya. Padahal ada perih di hati yang tak sanggup dia keluarkan. Sangat sakit, tapi tak tampak. Dia tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Bodoh, memang bodoh. Padahal dia tahu bahwa hubungannya dengan Gyo tidak boleh terjadi.
Tin tin.
Dia menoleh, dilihatnya mobil Adit mengikutinya di belakang. Namun, tak ada keinginan untuk ikut pulang bersama Adit. Sendiri adalah satu hal yang diinginkannya.
“Budek ya?” tanya Adit sambil berlari menyusul Andin.
Andin tak menjawab, terus berjalan dengan langkah kecilnya.
“Wanita kalo patah hati, dilema banget seperti ini ya?”
Andin diam, tak menanggapi celoteh Adit.
“Heran deh, apa sih yang dilihat dari suami Cinta itu, kok bisa tertarik sama wanita yang gak feminim sama sekali.” Mata Adit menelusuri tubuh Andin dari atas sampai bawah.
“Bawel banget mirip emak-emak di pasar. Kamu bisa diam gak sih?” Akhirnya Andin bersuara sambil memandang Adit dengan bengis.
Adit langsung menyatukan jari jempol dan telunjuknya, membuat huruf O. Lalu tangannya bergerak seolah-olah mengunci pada mulut, membuang anak kunci dengan cara melemparkan sejauh-jauhnya.
Andin memutar bola mata dengan jengah. Sama sekali tidak lucu.
Jlegar!
Mereka berdua kaget mendengar suara petir menggelegar di atas kepala. Langit yang memang sudah hitam, menampakkan tanda akan turun hujan.
“Mau turun hujan nih, naik ke mobil yuk!” ajak Adit yang hanya dibalas dengan lirikan tak suka.
Adit mengangkat bahu tak peduli, seolah mengerti bahwa tadi dia sudah mengunci mulut dan membuangnya entah ke mana. Lalu dia berbalik arah, meninggalkan Andin yang terus berjalan sendiri.
Beberapa tetes mulai jatuh dari langit. Andin tahu, tapi dia tidak beranjak untuk berteduh, hanya berjalan. Langit mulai menangis, seperti menggantikan air matanya yang tak bisa menetes. Dia lupa sudah berapa lama tak menangis. Baginya, hidup itu bukan untuk ditangisi, tapi dijalani dan dihadapi.
Rintik hujan turun satu per satu dengan deras. Rambutnya basah, hujan bagai memijat kepalanya agar bisa tetap dingin. Kaos dan celana panjangnya pun mulai basah, tapi dia tak peduli. Berharap air hujan bisa mendamaikan hatinya yang sudah berantakan sejak tadi.
Tiba-tiba Andin tak merasakan tetes hujan lagi di atas kepalanya. Dia mendongak, sebuah payung berwarna hitam sudah berada di atas kepalanya. Saat menoleh, dilihatnya Adit sedang memayunginya.
“Dasar maling payung!” kata Andin tak menghiraukan Adit.
“Hah? Maling katamu?”
“Nyolong payung di mana?” tanya Andin sinis.
“Ih Mak Lampir! Omongannya pedes bener! Makanya kalo jalan itu liat sekeliling. Noh di belakangmu ada toko yang jual payung!” gerutu Adit tak terima sambil menunjuk toko yang dimaksud.
Pandangan Andin mengikuti jari telunjuk Adit, memang ada sebuah toko besar di sana. Namun, gengsinya terlalu besar untuk meminta maaf pada lelaki tampan di sampingnya.
Hujan makin deras, terlihat beberapa ranting pohon mulai meliuk-liuk terkena angin. Tubuh Andin pun mulai menggigil.
“Kamu emang Mak Lampir, tapi bukan emak sakti yang bisa tahan dingin dan mengeluarkan api dari tangannya. Kalo sakit, aku gak mau tanggung jawab!” Adit mengambil tangan Andin, meletakkan tangan itu pada gagang payung, lalu dia berlari ke sebuah teras toko yang sudah tutup.
Andin termangu di tempatnya berdiri dengan payung di tangan. Benar yang dikatakan lelaki itu, dia bisa saja sakit karena air hujan. Dia menggigit bibirnya pelan, mau tak mau, mengikuti langkah Adit. Walaupun membawa payung, tapi derasnya hujan tetap akan membuat bajunya basah dan kedinginan. Hujan terlalu deras.
Adit sudah berdiri di teras toko dengan memainkan air hujan yang turun dari atas genteng. Dipercik-percikkannya air hujan itu tanpa rasa bersalah. Lampu teras itu temaram, tapi tetap tidak mengurangi wajah tampan Adit. Dilihat dari mana pun, Adit memang tampan. Mungkin malah akan banyak yang mengira, lelaki itu Oppa yang tersesat di Indonesia.
Adit melirik Andin, tak ada keinginan untuk mengajaknya bicara. Pun dengan Andin. Mereka sama-sama diam sambil melihat air hujan dan beberapa kendaraan yang berlalu lalang di depan mereka.
“Hujan, selalu turun tanpa pamrih. Banyak yang menghujat karena cucian tak kering, tapi para petani bahagia karena air di sawah penuh.”
Alis Adit terangkat satu, “Kenapa sih dari tadi ngomong hal yang gak penting? Anak SD aja tau kalo hujan itu bawa berkah, tapi juga bawa musibah.”
“Eh Gerandong! Siapa yang ngajak kamu ngomong?” Andin berkata dengan sinis.
Adit mati kutu. Dia pun diam, lalu mengambil ponsel dan memesan grab car. Lalu menelepon sopir untuk membawa mobilnya pulang karena mereka sudah berjalan cukup jauh, Adit malas balik ke tempat mobilnya ditinggalkan, apalagi hujan.
Tak berapa lama, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan mereka. Adit langsung mengambil payung dan membukanya, lalu menarik Andin agar mengikuti menuju mobil. Andin tak sempat menolak, dia pun mengikuti Adit sampai mereka berdua duduk di kursi penumpang.
“Kita mau ke mana?” tanya Andin.
“Ke tempat yang bisa bikin kita lebih enak.” Adit tak menoleh pada Andin, matanya memandang ke jalan.
“Kamu mau ajak aku ke hotel?” tanya Andin curiga.
“Eh, Mak Lampir! Pikirannya jangan kotor mulu. Amir-amir bawa kamu ke hotel. Cantik enggak, body bagus juga enggak! Entah kenapa suami Cinta itu mau sama kamu,” jawab Adit sambil menjitak kepala Andin.
Andin terdiam dengan ucapan Adit. Ya, apa yang dilihat Bagyo darinya? Cantik, jelas lebih cantik Cinta. Tubuhnya pun sama sekali tak menggoda.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung besar berwarna hijau lumut. Adit mengajak Andin masuk setelah terlebih dahulu membayar dan memberi tips pada sopir. Di dalam gedung, terdapat banyak lelaki hilir mudik, beberapa ring tinju, serta samsak yang menggantung.
“Woi! Mak Lampir buruan jalannya!” teriak Adit yang sudah berjalan agak jauh dari Andin.
Andin mempercepat jalannya, mereka menuju ke sebuah ruangan di bagian ujung. Adit mengajak Andin untuk masuk ke dalamnya. Tempat latihan yang tak seberapa luas, dengan tiga buah samsak yang menggantung, kursi sofa, serta loker.
“Aku biasa latian di sini. Kamu bisa pake sepuasnya sebelum kita pulang.” Adit memakaikan hand wrap pada kedua tangan Andin, lalu menepuk pundak Andin sebelum beranjak pergi.
Andin melirik ke arah pintu, memastikan bahwa Adit memang benar-benar keluar dari tempat itu. Benda berwarna merah yang menggantung di ruangan itu menjadi pusat perhatiannya. Dia menghampiri salah satu samsak.
Tanpa menunggu lama, kaki dan tangannya langsung melayang. Berkali-kali tangannya meninju, kakinya pun tak berhenti menendang secara bergantian. Menjadikan benda itu pelampiasan.
“Bodoh! Bodoh!” rutuk Andin berkali-kali. Merutuki dirinya yang bodoh karena mau saja menjalin hubungan dengan suami orang.
Seharusnya Andin tak pernah memakai hati jika melayani pelanggan. Seharusnya dia pergi saat Bagyo mulai menunggunya di halaman PAUD, seperti kepergiannya pagi itu setelah menjadi pengawal Natasha. Saat Gyo mengatakan cinta dan mendekatinya dengan gencar, seharusnya dia menolak.
Kini, saat tahu bagaimana tatapan mata Bagyo pada istrinya, Andin tahu bahwa ada cinta di sana. Apalagi saat tiba-tiba saja Bagyo pergi tanpa pamit untuk mengejar Cinta, hatinya seperti teriris. Kenapa jika Bagyo mencintai Cinta, tapi tetap mengejar Andin? Apa dia tidak pernah berpikir bahwa akan ada hati yang terluka karena keegoisannya?
“Kalo mau nangis, nangis aja. Gak usah pake gengsi.” Adit muncul dari arah pintu, kalimatnya cukup untuk membuat Andin menghentikan aktivitasnya.
Andin melihat Adit dengan tajam. Lelaki itu hanya nyengir sambil menghampiri Andin, ada dua botol air mineral berukuran sedang pada kedua tangannya. Satu botol diberikannya pada Andin yang langsung diminum sampai habis.
“So? Kamu mau bertahan atau menyerah?” tanya Adit.
“Untuk apa mempertahankan sesuatu yang bukan milikku?” tanya Andin balik sambil melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
“Aku akan ambil Cinta lagi,” kata Adit sambil berjalan menuju sofa.
“Cinta itu gak harus memiliki, tapi memberi tanpa berharap menerima.” Andin melirik Adit.
“Bego! Cinta itu egois. Buktinya dia lebih milih istrinya, daripada kamu!”
“Siapa yang lebih bego? Seorang lelaki yang menunggu pacarnya selama empat tahun lebih tanpa kabar, lalu saat pulang, pacarnya itu udah nikah. Makin bego saat lelaki itu mau menunggu pacarnya cerai sama suaminya. Dobel bego karena mempertahankan si pacar yang ternyata udah gak lagi cinta sama dia.” Andin menjawab sarkas.
Adit mengangkat bahu sambil memyebikkan bibir, lalu tertawa. Andin mengacungkan jari tengahnya pada Adit. Tawa Adit pun makin membahana.
“Aku akan lakukan apa pun demi dapatin Cinta,” kata Adit setelah terdiam beberapa saat.
“Awas kalo sampe kamu lukai Gyo!” kata Andin sambil menunjukkan kepalan tangannya.
“Bego!”
“Kamu yang dobel bego!”
=====::
1 Comment. Leave new
Bismillah.. selalu di tunggu.. Next ❤️