“Kamu kenapa sih tiba-tiba pulang?” tanya Gyo setelah berhasil menjajari langkah Cinta.
“Capek aja.” Cinta menjawab sambil terus berjalan.
“Ayo aku antar pulang.” Gyo langsung menarik tangan istrinya menuju tempat mobilnya diparkir.
“Aku mau pulang sendiri.” Cinta berusaha melepas pegangan tangan Gyo.
“Jangan seperti anak kecil! Aku gak suka!” Tiba-tiba Gyo mengeraskan suaranya.
Cinta kaget, langsung diam saat tangannya ditarik menuju mobil. Ada rasa sakit yang menjalar di hatinya, sakit karena suara keras suaminya, juga karena perlakuan seperti itu yang tak pernah dia dapatkan.
Tak ada bintang di langit, terlihat suram, sesuram hati Cinta. Dinginnya AC mobil tak bisa mendinginkan hati Cinta yang terbakar rasa cemburu. Dia mengusap wajahnya pelan, bagaimana bisa cemburu kalau baru kemarin dia menerima pernyataan cinta dari Adit? Bahkan wajahnya masih memerah, seperti dulu saat Aditya menembaknya di bangku kuliah.
“Cinta, mau mampir ke toko pizza?” tanya Bagyo memecah kesunyian.
“Terserah.” Pandangan mata Cinta hampa, hanya melihat jalanan yang ramai oleh kendaraan.
Bagyo membelokkan mobilnya ke toko pizza langganan mereka. Tanpa menunggu lama, dia turun dari mobil dan memesan pizza istimewa penuh keju, dua kardus sekaligus. Yakin bahwa Cinta hanya makan sedikit di restoran. Tak lupa dia membeli beberapa jenis buah di toko sebelahnya untuk mengisi lemari es.
Tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Sampai Gyo menepuk jidatnya karena melupakan kekasihnya di restoran bersama Adit, bahkan dia langsung berlari mengejar Cinta, tanpa berpamitan dengan Andin. Dia langsung mengeluarkan ponsel dan menghubungi Andin, sayangnya tak ada jawaban.
“Bodohnya …,” desah Bagyo pelan.
Cinta tak mempedulikan suaminya yang mulai tak fokus menyetir. Diliriknya ponsel yang masih menyala, ada nama ‘My Baby’ di sana.
Lalu Bagyo menghubungi Adit, berharap dia masih bersama Andin di restoran, rasa bersalah menjalari hatinya. Saat Cinta pergi, dia seolah lupa bahwa Andin masih duduk di sebelahnya. Mengejar Cinta begitu saja, tanpa mempedulikan Andin.
“Halo!” Adit mengangkat teleponnya.
“Andin masih sama kamu?” Bagyo merasa lega saat mendapat jawaban dari Adit. Segera dia aktifkan speaker agar bisa menyetir tanpa memegang ponsel.
“Iya nih, ada apa? Kamu dapat nomorku dari siapa?”
“Antarin Andin pulang, ya?” pinta Bagyo pada rivalnya itu, tanpa menjawab pertanyaan dari Adit.
“Yakin nih minta aku buat antarin Andin? Kalo dia aku ambil, gimana?” tanya Adit pada Bagyo.
“Brengsek kamu!” kata Bagyo sambil memukul kemudinya.
“Gak usah sama Adit, aku bakal pulang naik ojol. Mas antarin Mbak Cinta pulang aja.” Tiba-tiba suara Andin terdengar dari ujung telepon.
“Maaf, Sayang. Aku tadi gak sadar saat ngejar Cinta. Aku lupa pamitan sama kamu,” ucap Bagyo penuh penyesalan.
Klik.
Ponsel dimatikan sepihak oleh Andin. Bagyo menarik napas panjang, memukul kemudi lagi, lalu melirik istri yang ada di sebelahnya. Dilihatnya, ada air yang mulai menggenang di mata istrinya. Dia menyakiti dua wanita yang sama-sama mencintainya.
============
“Yakin mau naik ojol? Katanya tadi mau aku antar?” tanya Adit sambil memasukkan ponsel ke dalam saku ya lagi.
“Entah, aku belum tau mau pulang sama siapa. Lagian deket juga kok. Jalan kaki juga bisa,” jawab Andin pelan.
“Kamu pasti bakal tau seperti apa endingnya, kan?” tanya Adit sambil memandang wajah Andin pilu.
“Kamu sendiri?”
“Pastinya bertahan. Cinta itu udah seperti nyawaku.” Adit tersenyum pedih.
Andin mengambil ponselnya, terlihat beberapa kali Bagyo meneleponnya. Dia menarik napas panjang, tak tahu harus berbuat apa. Bertahan seperti Adit atau meninggalkan lelaki yang disukainya itu.
Adit memandang Andin dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia sendiri ragu, apa bisa mempertahankan Cinta di sisinya? Padahal sudah jelas bahwa Cinta mencintai suaminya, terlihat dari pandangan dan sikapnya. Namun, Adit yakin masih ada cinta untuknya, mengingat wajah Cinta yang bersemu merah saat dia mengajak menikah.
Nyala lilin meliuk-liuk diterpa angin. Seperti mau padam, tapi bertahan.
“Kamu tau lilin ini?” tanya Andin perlahan.
“Ya?”
“Dia mau mengorbankan tubuhnya untuk memberikan cahaya pada kita, tanpa pamrih.” Andin melanjutkan.
“Hm, lilinnya bodoh. Lagian hari gini kenapa harus pakai lilin? Kamu tau gak sih? Kita bisa bikin penerangan kecil dengan gelas, batu kali, cotton bud, minyak, dan air. Murah dan awet.” Adit berkata sambil berdiri menuju kasir.
Andin termangu, lalu tersenyum miring. Betul yang dikatakan Adit, dia bodoh. Seperti lilin itu, memberi cinta tanpa pamrih.
===============
Cinta langsung naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Pizza yang sengaja dibeli oleh Bagyo pun tak disentuhnya sama sekali, dibiarkan di atas meja dapur. Dia langsung membuka kerudung, lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Lelah, itu yang dia rasakan.
Setelah memarkir mobil di garasi dan menata buah ke dalam lemari es, Bagyo langsung menuju kamar dengan membawa pizza, menyusul istrinya. Tak ingin pizzanya menjadi dingin karena diabaikan oleh Cinta.
“Cin, kenapa pizzanya gak dimakan?” tanya Bagyo pelan sambil menuju tempat tidur.
Cinta segera menutup mata, berpura-pura telah tidur, tak ingin diganggu oleh suaminya. Hatinya masih ragu, sebenarnya kepada siapa cintanya berlabuh. Jantungnya masih berdegup kencang saat bersama Adit, tapi hatinya sakit saat melihat kemesraan Andin dengan Bagyo.
“Cinta, aku tau kalo kamu masih belum tidur.” Bagyo duduk di pinggir ranjang.
“Sebaiknya Mas ke ruang kerja aja. Aku mau sendiri.” Cinta berkata pelan tanpa membuka matanya.
“Kamu cemburu?” Sebuah pertanyaan dari Bagyo yang tak memerlukan jawaban.
Cinta bergeming.
“Bukannya aku tak mau menceritakan soal Andin, tapi aku menjaga perasaanmu. Tinggal dua minggu kita bercerai, kamu pasti bisa bahagia dengan Adit.”
“Sama saja, kamu melukaiku.”
“Lalu Adit? Kamu pun tak pernah menceritakan padaku soal ayah kandung Laura. Pacarmu saat masih kuliah dulu.”
Ucapan Bagyo kali ini langsung bisa membuat mata Cinta terbuka, “Adit bukan ayah kandung Laura.”
“Lalu siapa?” tanya Bagyo pelan.
“Tolong jangan bahas itu. Pergilah!” Cinta membalikkan tubuh, wajahnya menghadap bantal, mulai menangis.
Hati Bagyo perih. Masih ada tanya di hatinya yang belum terjawab. Jika memang Laura bukan anak Adit, kenapa Adit mengakui bahwa dia adalah ayah biologis Laura? Kenapa Cinta tidak jujur tentang ayah Laura sebenarnya?
Bagyo meletakkan pizza ke atas nakas, dia pun berbaring di samping Cinta. Hal yang tak pernah dilakukannya. Dibalikkannya tubuh Cinta perlahan agar menghadap padanya. Diselipkannya sebelah tangan pada leher Cinta yang tak membuat perlawanan.
“Menangislah, jika itu membuatmu lega.” Bagyo membawa kepala Cinta ke dadanya. Dipeluknya tubuh sang istri.
Cinta tetap menangis, tapi gengsinya yang tinggi tak membuatnya balik memeluk Bagyo. Tidak, dia tak boleh menyuburkan cinta di hatinya untuk lelaki itu. Ada Adit yang selalu menantinya kembali, bahkan mau menerimanya apa adanya. Adit yang setia, bahkan karena dia pergi begitu saja.
“Mungkin, aku adalah lelaki yang bodoh karena menyia-nyiakan cinta wanita sepertimu,” bisik Bagyo.
Cinta mendengar, tapi tak menimpali. Hatinya sudah memilih.
“Tapi, izinkan aku menebus semuanya. Sebelum perpisahan kita yang tinggal menghitung hari. Tak ada aku dan kamu, hanya ada kita. Tentang selanjutnya kamu mau menikah dengan Adit, itu hakmu. Kamu pun berhak bahagia.” Bagyo mengelus rambut Cinta, mencium kening istrinya dengan pelan.
Bodoh, bodoh! Wanita mana yang tak akan tergoda dengan lelaki seperti dia? Apalagi istri yang sudah halal untuknya. Cinta merutuk dalam hati.
Bagyo mengangkat wajah Cinta agar melihat ke arahnya. Mata mereka bertemu dan Bagyo melihat banyak luka di sana. “Aku tak bisa menjanjikan bahwa akan ada di sampingmu selamanya, tapi kupastikan sisa beberapa hari ini akan membuatmu bahagia.”
“Ceritakan padaku, apa yang terjadi saat aku dioperasi. Bagaimana mungkin tiba-tiba saja kamu menjadi suamiku setelah aku sadar?” Akhirnya sebuah tanya terlontar dari bibirnya.
“Okey. Tapi kamu juga harus memberi tahu aku, siapa ayah Laura.” Bagyo pun mengajukan syarat yang dibalas anggukan oleh Cinta.
“Hm, aku boleh memelukmu?” tanya Cinta ragu.
“Peluklah, selama yang kamu mau. Dua minggu ke depan, kamu bebas melakukan apa pun padaku. Aku pun tak akan menyakitimu.” Bagyo mencium kening Cinta sekali lagi.
Cinta memeluk suaminya, merasakan parfum yang menempel dan bercampur dengan keringat. Akhirnya dia bisa memeluk tubuh suaminya dan merasakan dada bidangnya. Hatinya menghangat. Apa yang terjadi besok, biarlah. Saat ini, biarkan seperti ini, bukan aku dan kamu, tapi kita.
===========