Aditya melangkahkan kaki keluar dari bandara. Senyum mengembang dari bibirnya, sudah lama dia rindu Indonesia. Terlebih, rindu senyum Cinta. Dia membuka tutup kotak beludru berwarna merah, dilihatnya cincin putih dengan ukiran bunga.
“Cinta pasti suka,” katanya pelan sambil menutup kotak itu.
“Aden, sudah ditunggu Nyonya di rumah.” Pak Tejo berlari tergopoh-gopoh menghampiri Adit, lalu mengambil tas kopor tuannya itu.
Penampilan Adit yang sedikit berbeda tak membuat Pak Tejo lupa. Kulitnya m terlihat semakin putih dengan rahang kuat, membuat Adit terlihat lebih dewasa. Matanya yang bagaikan elang dan senyum tipis yang tak pernah hilang dari bibirnya, pasti akan membuat tiap wanita jatuh cinta.
Adit tersenyum, lalu mengikuti langkah sopir pribadinya ke tempat parkir.
Ingatannya melayang pada Cinta, wanita yang selalu menjadi penghuni hatinya sejak beberapa tahun lalu. Saat mereka masih kuliah di tempat yang sama. Pasti Cinta saat ini sudah dewasa dan lebih cantik dari beberapa tahun lalu, sebelum dia pergi meninggalkannya untuk melanjutkan S2.
============
“Putra Mama sudah balik rupanya.” Lisa menyambut kedatangan putra semata wayangnya dengan gembira, “Bagaimana dengan cabang perusahaan Papa yang kamu pegang di sana?”
“Semuanya bagus, tidak ada kendala berarti di perusahaan. Setelah lulus S2, Adit langsung mengambil alih perusahaan. Semua sudah beres sekarang,” jawab Adit sambil membuka kacamata hitam, lalu mencium pipi kanan mamanya.
“Aditya Putra Wijaya, tak salah memang jika Papa memintamu untuk memegang kendali di sana.” Senyum menghiasi wajah Lisa.
Adit tersenyum, dia segera pamit menuju kamarnya di lantai atas. Ingin melepas lelah yang dari tadi menekan tubuhnya. Sore nanti dia berharap agar bisa lebih segar saat menemui Cinta untuk melamarnya.
Kamarnya masih tetap sama, tidak ada perubahan dari empat tahun lalu. Pembantunya pasti rutin membersihkan kamar ini tanpa mengubah letaknya. Dibukanya jendela yang menghadap ke arah perkebunan teh, udara segar langsung menyerbu masuk ke dalam kamar. Sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan hijau dengan beberapa buruh pemetik daun teh.
==========
Adit mengemudikan mobilnya pelan, menuju rumah Cinta. Tak lupa dia mampir ke toko bunga agar rencananya semakin lancar. Senyum menghiasi wajah tampan Adit, dia teringat dengan kenangan beberapa tahun lalu, pada acara pesta perpisahan di rumah Edwin, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Cinta.
“Kau sungguh akan pergi? Meninggalkanku?” tanya Cinta pelan.
“Ini demi masa depan kita. Aku janji akan secepatnya kembali ke sini setelah semuanya selesai,” bisik Adit sambil menggenggam tangan kekasihnya.
Cinta melepas genggaman tangan Adit dengan kasar, lalu meminum segelas alkohol yang memang disediakan secara gratis di atas meja. Wajah Cinta langsung memerah karena pengaruh minuman itu.
“Jangan seperti ini dong, Sayang. Aku pasti akan kembali, sungguh.” Adit gusar karena tak pernah mendapati Cinta meminum alkohol sebelumnya.
“Kamu mau pergi meninggalkanku secara tiba-tiba? Besok? Gila!” Cinta berdecak dengan marah, meminum segelas alkohol lagi, lalu meninggalkan Adit menuju balkon.
“Aku hanya selanjutnya S2 di sana, lalu mengelola perusahaan Papa. Setelah itu akan langsung melamarmu.” Adit mengejar Cinta, memberi penjelasan.
“Sungguh? Kau akan langsung melamarku?” tanya Cinta ragu.
“Aku janji, Princes.” Adit membungkam mulut Cinta dengan bibirnya.
Entah siapa yang memulai, kejadiannya begitu tiba-tiba. Mereka sudah berada di kamar Edwin, memadu kasih untuk menuntaskan rindu yang akan mereka lewati nanti.
“Aku janji akan menunggumu,” ucap Cinta sebelum dia terlelap.
================
Ting tong
Adit menekan bel rumah Cinta, lalu disembunyikannya buket bunga mawar di belakang punggungnya. Tak lama, muncul sosok Bi Surti dari balik pintu.
“Cinta ada, Bi?” tanya Adit sopan.
“Ya Allah, Den Adit. Makin cakep aja. Bibi pangling.” Wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Handoko itu terkejut melihat kedatangan Adit, tak menyangka lelaki itu akan datang ke rumah ini setelah menghilang beberapa tahun.
“Siapa, Bi?” tanya Handoko dari ruang tengah, menuju ruang tamu.
Langkah kaki Handoko terpaku saat melihat Adit di depan pintu rumahnya. Antara mempersilakan Adit masuk atau mengusirnya. Handoko menarik napas panjang, mencoba menetralkan gejolak yang ada di dalam hatinya untuk kekasih putrinya, dulu.
“Cinta ada, Om?” tanya Adit.
“Masuk dulu, Dit!” Handoko langsung duduk di kursi tamu, diikuti Adit.
Sementara Bi Surti langsung pergi ke dapur sambil mengelus dada dan berdoa, berharap tak ada lagi perang di rumah yang mulai tenang itu.
Adit langsung duduk berhadapan dengan Handoko, memang bukan untuk yang pertama kalinya mereka bertemu, tapi kali ini seperti berbeda. Mungkin karena dia sudah menghilang beberapa tahun dari hidup Cinta, Adit mulai gelisah.
“Kenapa kamu datang ke sini?” tanya Handoko pelan.
“Saya sudah berjanji pada Cinta untuk datang kembali setelah semuanya selesai.” Adit menjawab dengan ragu.
Handoko menatap sebuah foto berukuran A3 yang ada di ruang tamu dengan pandangan menerawang. Adit pun ikut melihat foto itu, foto pernikahan Cinta dengan seseorang. Tiba-tiba seperti ada yang menyanyat di hatinya. Perih.
“Kamu sudah tau jawabannya. Pergilah. Jangan cari Cinta lagi, hidupnya sudah bahagia, tanpamu.” Handoko menekan kata terakhir dalam ucapannya, berharap Adit mengerti.
“Tap-tapi kenapa, Om?” Adit menggeleng dengan cepat, tak mempercayai penglihatannya.
“Semua bisa berubah dengan cepat. Apalagi sampai bertahun-tahun,” ucap Handoko cepat, lalu pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
Adit tahu apa yang harus dilakukannya, pergi dari rumah itu karena kehadirannya tidak diharapkan. Namun, dia akan mencari Cinta, menanyakan semuanya, menagih janji yang pernah mereka ucapkan dulu.
============================
“Cin, Laura di rumah sakit mana?” tanya Bagyo cepat di telepon setelah mengantar Andin sampai halte bus.
Laura memang bukan anak kandungnya, tapi dia sudah seperti anak kandung Bagyo. Laura yang bisa membuat dia bertahan di rumah itu, sekaligus mempertahankan rumah tangganya dengan Cinta.
“Jemput aku di rumah, Mas,” jawab Cinta.
Bagyo segera mengemudikan mobil pinjaman dengan kecepatan penuh menuju kantor, berniat menggantinya dengan mobilnya sendiri. Tak mungkin dia menggunakan mobil sendiri untuk bertemu dengan Andin, bisa membuat banyak orang curiga. Hatinya gelisah mengetahui kabar buruk tentang Laura dari Cinta. Setelah sampai tempat parkir, Bagyo langsung naik menuju ke ruang kerja untuk mengambil kunci mobil.
“Mas dari mana?” Cinta tiba-tiba mengagetkan suaminya. Dia sudah duduk di sofa ruang kerja.
“Keluar sebentar! Ayo kita berangkat,” jawab Bagyo sambil mengambil kunci di atas meja.
“Kita gak ke mana-mana. Laura baik-baik saja,” jawab Cinta pelan.
“Apa? Kamu bohong padaku?!” Bagyo ingin sekali menampar wajah putih istrinya itu karena telah membuatnya gugup dan menyudahi kencan dengan Andin. Benar-benar wanita yang sukanya mencari masalah.
“Aku berhak tahu, seharian tadi Mas ke mana? Aku sudah nunggu dari tadi di sini! Apa kalau aku bilang ada di kantor, Mas akan langsung pulang?” Cinta menjawab dengan senyum sinis.
“Kau tak berhak ikut campur urusanku!” kata Bagyo sambil duduk di kursi. Menahan emosi yang mulai meluap.
“Aku berhak! Aku istrimu, Mas!” nada suaranya mulai meninggi. “Kamu selingkuh?”
“Kamu gila! Sejak kapan aku berkata menjadi suamimu? Menjadi ayah Laura, itu benar. Tapi bukan menjadi suamimu. Aku tak pernah mencintaimu!” jawab Bagyo sinis.
“Tapi Mas sudah mengucapkan ijab qabul padaku!”
“Aku juga bisa memberimu talak tiga saat ini juga!”
“Mas, apa selama ini aku tak pernah kau anggap ada?” tanya Cinta pelan. Air mata mulai menggenang di matanya.
“Kamu pikir apa?” tanya Bagyo balik padanya.
“Mas, apa kekuranganku? Aku bahkan berusaha menerimamu apa adanya. Aku juga berubah menjadi wanita yang lebih baik untuk kamu.”
“Kau mau tuntut aku? Ceraikan aku? Lakukan saja. Kamu bisa ajukan tuntutan bahwa selama ini aku tak pernah memberikanmu nafkah batin! Atau kamu malu nantinya jika menjadi janda?” tantang Bagyo padanya.
Bagyo mulai muak. Air mata Cinta sebentar lagi akan mengalir deras. Entah kenapa, Bagyo tak pernah suka dengan air mata wanita. Apalagi saat mereka terlihat lemah dan membutuhkan bantuan orang lain. Bagyo segera melangkahkan kaki menuju pintu.
Bagyo menghentikan langkahnya, lalu berkata pelan tanpa menoleh ke arah Cinta, “Apa kamu tau bahwa ucapan seorang ibu itu adalah doa? Kamu berkata Laura di rumah sakit! Apa kamu mendoakan Laura sekarang di rumah sakit?”
“Maaf, Mas. Bukan itu maksudku. Aku sama sekali tidak mengingkan hal itu!” Air mata Cinta makin deras. Ucapan suaminya itu menohok dalam hatinya. Benar, seharusnya dia tak menggunakan alasan mengenai Laura.
“Mas, aku tak pernah menuntut apa-apa darimu. Bahkan kubiarkan kau melakukan apa pun, semaumu. Tapi, aku hanya ingin satu hal padamu. Cintai aku, Mas. Walau seujung hitam pada kuku jarimu,” ucapnya pelan.
Langkah Bagyo terhenti seketika. Mencintaiku? Selama ini dia mencintaiku dengan segala sikap kasarku padanya?