Drrt drrt …. handphone Andin bergetar, dia segera mengambilnya dan membaca pesan di sana. Natasha menyuruh ke ruangan VVIP 1 segera. Andin langsung berlari ke atas, meninggalkan area parkir. Padahal dia tak tahu di mana ruangan itu sampai terlihat seorang security berjalan di depan pintu.
“Malam, Pak. Mau tanya, VVIP 1 di mana, ya?” tanya Andin langsung setelah berada di dekat bapak itu.
Dia memandang Andin dengan tatapan aneh, walau akhirnya menjawab juga, “Langsung naik lift ke lantai sepuluh. Di sana berderet ruang VVIP. Nomor satu yang paling ujung, dekat jendela!”
“Makasih.” Andin langsung menuju lift agar bisa sampai di ruangan itu dengan cepat. Jangan sampai Natasha kenapa-napa. Dadanya sudah berdebar tak keruan.
Ternyata benar, ruangan VVIP 1 ada di dekat jendela. Segera diketuknya pintu pada kamar itu, tak lama, seseorang berpakaian hitam membukanya. Sepertinya bukan salah seorang yang ikut ke dalam party. Dari pakaiannya, dia terlihat seperti pengawal, bodyguard.
“Andin, Aura mana?” teriak Natasha pada Andin di sela suara alunan musik yang lembut.
Andin menyatukan dua telapak tangan membentuk atap rumah, Natasha mengangguk, sepertinya dia mengerti maksud Andin.
Tiga dara ada di sana, tapi ada seseorang yang membuat Andin terkejut saat dia menoleh. Mr. Vampir ada di antara mereka juga, sedang bercengkrama dengan Agnes. Mereka berdua terlihat sangat akrab.
“Siapa dia? Teman kalian?” tanya Mr. Vampir sambil mengerling nakal pada Andin.
Oh no! Kerlingannya pun terlihat menyeramkan.
“Iya, tapi dia jadi bodyguardnya Natasha. Ya gitu deh!” jawab Selly sambil menunjuk Andin.
Tahu diri, Andin pun menundukkan badan, layaknya bodyguard pada bosnya. Uh, ternyata orang ini yang mau ditemui oleh Natasha dan teman-temannya, orang yang bersamaku dari tadi. Bahkan, dia adalah orang brengsek yang membiarkan seorang wanita sepertiku melawan para penculik Aura.
“Namamu?” tanya Mr. Vampir pada Andin.
“Andin,” jawab Andin cepat, malas meladeni orang macam dia.
“Nama aslimu?”
“Itu nama aslinya,” jawab Natasha cepat sambil mengangsurkan segelas minuman pada Mr. Vampir.
“Oh, no! Saya tidak minum minuman seperti itu. Buat kalian saja. Saya minumnya jus,” tolaknya halus sambil menggerakkan tangannya.
Jus?? Di tempat seperti ini dia minum jus? Gak salah nih? Lelaki seperti ini tidak minum minuman keras? Andin melongo tak percaya.
“Ada air mineral di pojok kalau kamu mau!” katanya pada Andin sambil menunjuk meja di pojok ruangan.
Ternyata di atas meja tidak hanya ada beberapa botol air mineral, tapi juga jus dan sekeranjang buah. Andin pun segera menuju meja yang dia tunjuk, mengambil air mineral, lalu meneguknya sampai habis.
“Haus, Ndin? Aku harus memanggilmu apa? Dini atau Andin?”
Andin tersedak ketika sebuah suara halus mendarat di telinganya. Langsung saja dia menoleh dan mendapati Mr. Vampir tersenyum. Lelaki itu sudah ada di samping Andin saat ini, Andin tak menyadari kedatangannya.
Siapa dia? Kenapa bisa tahu soal nama Dini yang hanya digunakan saat melayani para pelangganku?
Dia menuang jus ke dalam gelas, lalu bergabung kembali ke meja Natasha. Tak menghiraukan Andin.
GILLAAAA!! Siapa dia? Kenapa bisa tahu soal aku? Jangan sampai dia membicarakan soal pekerjaan sambilanku pada para tukang gosip itu!! Hidupku di ambang bahaya!!!
====================
“Kamu gak istirahat juga?” tanya Mr Vampir sambil mengangsurkan sebotol air mineral.
“Aku di sini kan jagain mereka,” jawab Andin tanpa memperhatikannya.
Andin masih jengkel mengingat tadi di tempat parkir tidak dibantu olehnya. Malah asik menonton dan berkata bahwa Andin hebat. Jelasnya lelaki itu tahu kalau Andin juga butuh bantuan di saat terjepit seperti tadi.
“Tenang saja, teman-temanmu bakal aman kok di sini. Anak buahku akan jagain mereka sampai besok pagi. Kamu bisa potong jariku kalau sampai mereka terluka,” dia menunjukkan satu jarinya tepat di mata Andin.
“Kamu cowok brengsek!” kata Andin tak mempedulikannya. Memang siapa yang peduli kalau jarinya terpotong atau tidak?
“Kamu marah soal yang tadi?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Iyalah! Emangnya kamu pikir aku itu gak capek menghadapi mereka? Apalagi tadi hampir aja kalah,” kata Andin sinis. Ya ampun, ada juga orang yang merasa tak punya dosa seperti dia. Walau dia lelaki satu-satunya di dunia ini, aku tak sudi buat pacaran sama dia.
“Masih hampir, kan? Bukannya tadi sudah ditolong Dimas?” jawabnya sambil tersenyum.
“Ih nyebelin!!”
Dia tertawa, lalu mengacak-acak anak rambut Andin pelan. Sok kenal dan sok dekat.
“Mau ikut aku?” tanyanya pelan.
“Ogah banget! Bisa-bisa aku jadi korbanmu selanjutnya! Teler seperti mereka!”
Dia tertawa lagi, lalu menarik tangan Andin cepat. Membawanya ke belakang tembok.
“Eh mau ngapain kamu?” Andin berontak dengan cepat. Tak mau jadi korban selanjutnya.
Ternyata dugaan Andin salah, di belakang tembok ada sebuah tangga, melingkar menuju atas. Tangannya tetap menarik Andin, tak ada suara dari bibirnya. Musik telah dimatikan, hanya ada suara langkah kaki mereka yang menggema menapaki tangga. Jantung Andin berdegup dengan kencang. Terasa aneh, seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Entah itu hal baik atau buruk, Andin langsung waspada.
“Suka?” tanya Andin tiba-tiba setelah mereka berada di lantai atas.
Sebuah ruangan terbuka yang bisa melihat ke langit. Banyak bintang berkelip di sana, bahkan beberapa rasi bintang juga terlihat dengan jelas. Di depan Andin ada sebuah meja kecil dengan dua kursi, di atas meja ada beberapa lilin kecil. Di samping meja tersebut ada kolam renang kecil yang di atasnya terdapat banyak lilin mengapung, seperti bunga teratai.
“Amazing,” kata Andin tiba-tiba tanpa sadar.
“Aku tau, kamu pasti suka,” katanya sambil menuntun Andin ke meja.
Mr. Vampir menarik kursi agar bisa diduduki oleh Andin. Lalu melepas jubah vampir yang dipakainya dan dipakaikan pada tubuh Andin.
“Di sini lumayan dingin, Ndin. Kamu jangan pernah lupa bawa jaket. Tapi kamu suka dengan tempat ini?”
Entah kenapa, ada yang terasa meleleh di hati Andin. Tempat seperti ini tak pernah dia jumpai, walau dalam mimpi sekalipun. Berharap pangeran datang? Tidak ada dalam kamusnya. Itu adalah satu hal yang sangat mustahil. Lelaki baik hanya untuk wanita baik, bukan wanita penjaja tubuh sepertinya.
“Memikirkan apa, Ndin?” tanya lelaki itu pelan.
“Siapa kamu?” tanya Andin balik.
Dia tersenyum lagi, “Kau sudah melupakanku? Ya maklum saja, kita kan baru satu kali ketemu. Lagipula pelangganmu tak hanya aku.”
Andin langsung berdiri dari kursi, sungguh, tak ingin adalagi yang berkata soal pelanggan. Semuanya sudah selesai. Pekerjaan itu tak dilakukan lagi saat ibunya sudah mulai membaik setelah operasi.
“Maaf, Ndin, jangan marah,” ucapnya pelan sambil menggenggam tangan Andin. “Mau duduk lagi, kan?”
“Jawab dulu kamu siapa!”
“Gyo, Bagyo.”
Sebuah nama yang membuat Andin mengingat sesuatu. Pelanggan aneh yang hanya mengajak nonton film dan olahraga sebelum mereka tidur. Pelanggan yang menangis di bawah shower tengah malam, hingga mereka harus berbasah-basahan.
“Ingat kan?”
Andin kembali duduk. Mana bisa lupa dengan pelanggan yang membuat Andin sangat menginginkan tubuhnya. Pelanggan yang membuat Andin kecewa karena tidak membawanya ke surge dunia dengan segala yang dia punya. Mungkin benar yang Bagyo katakan, terlalu banyak pelanggan, sampai tak bisa mengenalinya di balik wajah vampir tersebut. Bahkan Andin sudah hampir lupa dengan gestur tubuhnya yang mempesona.
“Anak istrimu ke mana?” Ah, pertanyaan konyol yang terlontar begitu saja dari mulut Andin. Bahkan hal itu tak seharusnya dikatakan. Bodohnya Andin yang bisa saja merusak suasana romantis itu.
“Cinta ada acara dengan teman-temannya. Laura sedang tidur di rumah,” jawabnya tegas.
Andin tersenyum miris. Keluarga lelaki itu tak dihiraukan, malah asik di sini, party bersama Natasha dan kawan-kawannya. Suami dan ayah macam apa sebenarnya dia? Lalu mereka sama-sama terdiam, takut salah bicara lagi.
“Sudah beberapa bulan, tapi tas dan sepatumu itu terlalu khas untuk dilupakan,” kata Bagyo sambil memandang tas Andin.
“Kenapa?”
“Kamu tak punya tas lain yang lebih bagus? Melihat tas itu, aku mengikutimu. Yakin bahwa kamu Dini.” Dia tersenyum.
“Uh, boro-boro beli tas. Buat bayar kuliah saja susah,” jawab Andin sambil melempar pandangan ke kolam.
“Gak punya duit?”
“Habis buat biaya berobat Ibu, bulan kemarin juga operasi. Tapi sekarang udah gak apa-apa, tinggal pemulihan.”
Dia terlihat kaget, lalu mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya mulai mengerti alasan Andin menjual diri. Dia terlihat cukup pintar untuk menganalisa, daripada Andin harus bercerita. Bukan hal indah untuk diceritakan pada lelaki itu.
“Mau berdansa?” tawarnya pada Andin.
Andin tertawa, “Dansa? Yang benar aja.”
“Aku ajari deh. Okey?” sebuah tawaran yang tak bisa ditolak. Sepertinya dia tahu bahwa Andin sama sekali tak bisa berdansa.
Tiba-tiba saja sebuah alunan musik terdengar pelan, dinyalakan oleh anak buahnya. Lalu tangan kanan Bagyo meraih tangan kiri Andin, mereka berdiri. Tangan kirinya pun memegang pinggang Andin, tangan kanannya memegang tangan Andin.
“Hm …,” Andin bergumam.
“Rasanya aneh ya, Ndin? Baru pertama?” bisiknya di telinga Andin.
“Iya, bisa yang lebih santai?” Andin melepaskan genggaman tangannya, lalu kedua tangannya telah merangkul leher Bagyo. Kedua tangan Bagyo pun kini telah berpindah pada pinggang Andin. Mata Andin tak bisa lepas dari lelaki itu.
“Kenapa melihatku seperti itu? Aku tampan?” katanya sambil tersenyum.
“Iissh, jangan ke GR-an deh Mas,” jawab Andin sambil memajukan bibir, mencoba tidak kaku seperti tadi.
Bagyo tertawa, giginya yang putih terlihat sangat rapi. Hm, sepertinya dari dulu dia sudah tampan, tak perlu dikatakan, dia memang tampan. Ya walaupun malam ini dia terlihat sangat dingin dengan kostumnya yang aneh itu.
“Emailku tak pernah kamu balas,” bisiknya.
“Aku tak membuka email lagi setelah Ibu operasi. Lagipula aku sudah mendapat pekerjaan tetap sebagai bodyguard Natasha untuk kebutuhan sehari-hari,” jawab Andin pelan.
“Berarti?”
“Ya aku udah gak kerja jadi wanita malam lagi. Masa’ gitu aja perlu dijelaskan?”
“Apa kau tak tahu jika aku merindukanmu?” bisik Bagyo pelan. Menekankan kata rindu di ucapannya.
Andin terdiam, lalu memandang mata Bagyo. Kerinduan seperti apa yang dirasakan oleh orang sepertinya pada wanita seperti Andin? Seorang wanita penjaja tubuh yang tak pantas untuk dirindukan.
“Ndin, aku serius … bahkan aku masih ingat keinginanmu untuk berada di tempat romantis seperti ini,” bisiknya lekat di telinga Andin.
“Semua sudah berlalu, Mas. Aku sudah bukan penjaja tubuh seperti beberapa bulan lalu saat kita bertemu,” jawab Andin pelan.
“Apa malam itu aku menganggapmu sebagai penjaja tubuh? Apa kau ingat yang kukatakan saat itu?” Dia menekan tiap kalimatnya.
Andin menggeleng pelan.
“Anggap aku kekasihmu, Ndin. Bukan pelangganmu. Begitu pun malam ini,” Bagyo mengeratkan pelukannya pada tubuh Andin. “Bolehkah aku tidur sambil memelukmu malam ini?”